Wednesday, August 22, 2012

Motivasi Ibadah


MOTIVASI IBADAH

Nabi Muhammad SAW pernah membuat sebuah ramalan, prediksi adanya kecenderungan keperbedaan motivasi seseorang dalam menjalankan ibadah, seperti yang diungkapkan oleh al-Ghozali dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulumuddin, Nabi pernah membuat gambaran, kana fi akhiri zama khoroja n-nasu li l-hajju arba’ata asnafin, “besok pada akhir zaman orang-orang yang pergi menunaikan haji akan dibagi menjadi empat kelompok”. Pertama,  kata Nabi, salatinuhum li n-nuzhah, yaitu” Kelompok penguasa atau elit masyarakat yang pergi menunaikan haji karena dorongan untuk melakukan pelesir atau wisata”, wisata haji. Bagi kelompok ini mungkin haji bukan sebagai tujuan, tetapi sarana untuk bersenang-senang atau memuaskan kesenangan rekreatifnya. Selama melaksanakan haji yang dipikirkan adalah hal-hal yang tidak terkait langsung dengan ibdahnya, melainkan lebih pada hal-hal yang sifatnya menunjang kegiatan rekreatif, seperti fasilitas penginapan, transportasi, kosumsi, dan seberapa bebas ia bisa shopping ditempat-tempat yang kunjungi. Menurut Nabi kecenderungan motivasi ini lebih banyak terjadi pada kelompok penguasa atau para raja, presiden, perdana menteri, dan seterusnya (salatin).Kedua, Menurut Nabi, wa aghniya’uhum li t-tijaroh, “motivasi orang-orang kaya berangkat haji lebih disebabkan karena tujuan bisnis”. Berhaji sambil bisnis. Kedua,  wa ‘ulama’uhum li s-sum’ah,”kelompok Ulama’ yang berangkat haji karena mencari popularitas”, biar kondang dan punya nilai tambah dimata masyarakat. Keempat, wa fuqoro’uhum li l-mas’alah, “ kelompok orang-orang fakir yang berangkat haji karena ingin mencari bantuan, sumbangan, atau untuk meringankan beban hidupnya”.
Secara umum motivasi ibadah di dalam agama dikelompokkan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu ibadah karena keikhlasan (li l-lah) dan karena Riya(hadirnya unsur lain dalam pelaksanaan ibadah). Padahal yang diharapkan dalam agama, semua bentuk ibadah, apak itu ibadah qalbiyah “aktivitas hati”, maupun aktivitas yang berkaitan dengan masalah  (maliyah) berdasarkan dorongan suci karena Allah semata.
Menurut tingkatannya motivasi ibadah dilihat dari keikhlasannya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu : Pertama, motivasi karena memandang ibdah sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Bagi orang yang memandang ibadah sebagai kewajiban, sikap yang muncul adalah nrimo ing pandhum, pantang menolak, dan tidak ada keinginan atau angan-angan untuk mengingkarinya. Kedua, Adakalanya orang melakukan ibadah karena didorong oleh keinginan untuk memperoleh pahala atau imbalan dari Allah SWT. Ibadah jenis ini disebut ‘ibadah li l-matsubah,  “ibadah karena upah/pahala”. Ketiga, motivasi yang lebih tinggi mutuhnya, yaitu ibadah karena semata-mata untuk medekatkan diri kepada Allah, memeperoleh ridho Allah, atau ingin agar hubungannya dengan Allah bertambah dekat.
Dalam hadits Nabi lain, Nabi SAW. Pernah mengemukakan bahwa motivasi orang-orang melakukan ibadah dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu : Kategori Pertama, orang-orang yang beribadah karena terpaksa. Kategori Kedua, kelompok orang-orang yang melaksanakan ibadah karena taat. Orang ini melakukan ibadah bukan karena paksaan dari luar, melainkan secara intrinsik sudah mewajibkan diri harus melakukan semua ibadah itu. Meskipun terkadang merasa berat, tetapi karena terpanggil oleh ketaatannya kepada tuhan ibadah itu tetap dikerjakan. Kategori Ketiga, orang-orang yang beribadah karena merasakan kenikmatan ibadah. Dia melakukan ibadah bukan sekedar ketaatan, tetapi sudah ada rasa kangen, rasa rindu, rasa ketagihan dan keranjingan untuk menjalankan ibadah.
                                    Di kutip dari buku  : DINAMIKA KEHIDUPAN RELIGIUS
                                    Karangan               : Drs. K.H. Muhammad Tholchah Hasan

Wednesday, August 15, 2012

Hukum Sholat di KuburanMenurut Pandangan 4 (Empat) Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali

HUKUM SHOLAT DIKUBURAN MENURUT 4 (EMPAT) MADZHAB
(HANAFI, MALIKI, SYAFI’I, DAN HAMBALI)


Menurut Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, sholat dikuburan hukumnya makruh tanzih. Makruh tanzih tersebut akan hilang, dan status hukumnya menjadi boleh apabila mengerjakan sholat di tempat sholat yang disiapkan untuk sholat dan didalamnya tidak terdapat makam seseorang, tidak ada najis dan kiblatnya tidak menghadap ke makam tersebut. Demikian pernyataan Al-Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah Radd Al-Muhtar (1/254)


Menurut Madzhab Maliki
Menurut Madzhab Maliki, sholat dikuburan hukumnya boleh (tidak makruh), meskipun persis di atas kuburan dan tanpa alas, baik kuburan tersebut masih difungsikan atau pun sudah tidak dipakai, baik pernah digali atau tidak, dan meskipun kuburan orang musyrik. Tentu saja kebolehan tersebut apabila aman dari terkena najis. Dalam konteks ini, Imam ad-Dardir berkata dalam Assyarhus Shoghir (1/267) :

“ Dan boleh mengerjakan sholat diarah kuburan meskipun di atasnya, baik kubaran yang masih berfungsi maupun sudah lenyap, meskipun kuburan orang kafir…. Apabila aman dari najis.” (Assyarhus Shoghir 1/267)


Menurut Madzhab Syafi’i
Menurut Madzhab Syafi’I, sholat dikuburan yang tidak pernah digali hukumnya sah tanpa ada perselisihan dikalangan ulama’ Syafi’iyah dan berstatus makruh tanzih. Sedangkan apabila kuburan tersebut sering digali maka hukumnya tidak sah, apabila tidak memakai alas(semisal sajadah), karena tanah yang diinjakknya telah bercampur dengan orang sudah meninggal. Demikian keterangan dari Mukhtasharul Muzani (hal, 19), kitab al-Muhadzdzab dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syahrul Muhazdzab (3/164), Imam Nawawi  berkata :
“ Adapun hukum permasalahan tersebut, apabila kuburan itu nyata pernah digali, maka sholat di kuburan tersebut tidak sah tanpa ada perselisihan, apabila dibawahnya dihamparkan alas. Apabila kuburan tersebut nyata tidak pernah digali, maka sholat dikuburan tersebut sah tanpa ada perselisihan dan dihukumi makruh tanzih.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ 3/164)


Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, sholat dikuburan yang hanya berisi satu atau dua makam(mayat), hukumnya boleh dan sah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (1/718) dan Ibnu Muflih dalam al-Mubdi’ (1/394). Sedangkan sholat dikuburan yang berisi 3(tiga) makan atau lebih, ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. Dalam satu riwayat, sholat ditempat tersebut hukumnya tidak sah sama sekali. Dalam riwayat yang lain, hukumnya sah selama tempat tersebut tidak najis. Hal ini bisa dilihat dalam kitab al-Mughni (2/471) karya Ibnu Qudamah al-Hambali.

Disisi lain, kemakruhan sholat dikuburan, diriwayatkan pula dari kalangan salaf seperti sahabat Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’, dan an-Nakha’i. Sementara pandangan yang tidak memakruhkan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’ dan Hasan al-Bashri, sebagaiman dipaparkan oleh Imam Ibnul Mundzir dalam kitabnya, al-Ausath (2/183).

Oleh : Ustadz M. Idrus Romli
Dikutip dari Kajian Aswaja di Majalah AULA Edisi Agustus 2012