MACAM-MACAM
BID’AH HASANAH
MENURUT
PARA ULAMA’
1.
Jawaban Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah
terhadap Pendapat Wahhabiyah
Menurut pandangan Ulama Ahlussunnah
Wal Jamaah, tesis al-‘ Utsaimin diatas sangat lemah dan sulit dipertahankan
seara ilmiah , sebagaimana dikatakan oleh Tim Bahtsul Masail Jember,” Tsesis
al-‘ Utsaimin ini sangat lemah dan sulit dipertahankan seara ilmiah oleh al-‘
Utsaimin sendiri. Disamping tesis tersebut sebagai bukti kesempitan cara
berfikirnya dan menyalahi metodologi berfikir para shahabat, ulama salaf dan
ahli hadits, tesis diatas justru bertentangan dengan pernyataan al-‘ Utsaimin
sendiri di bagian lain dalam bukunya, yang menjadi bid’ah menjadi beberapa
bagian sesuai dengan pendpat mayoritas ulama. Misalnya ia menyatakan:
اَ ْلأَصْلُ فِى
أُمُوْرِ الدُّنْيَا الْحِلُّ فَمَا ابْتُدِعَ منْهَا فَهُوَ حَلاَلٌ إِلاَّ أَنْ
يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ, لَكِنْ أُمُوْرُ الدُّنْيَا اَ ْلأَصْلُ
فِيْهَا الْخَطَرُ , فَمَاابْتَدَعَ
مِنْهَا فَهُوَ حَرَامٌ بِدْعَةٌ ,
إِلاَّ بِدَلِيْلٍ مِنَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ (العثيمين, شرح العقيدة الواسطية , ص /
639 - 640 )
“ Hukum asal perbuatan
baru dalam urusan – urusan dunia adalah halal. Jadi, bid’ah dalam urusan – urusan dunia itu halal, kecuali da dalil menunjukkan keharamanya.
Tetapi hokum asal perbuatan baru dalam urusan – urusan agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah
dalam urusan – urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari
al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keharamanya.” ( Al – ‘Utsaimin,Syarh
al- ‘Aqidah al- Wasithiyah, hal. 639 – 640 )
Tentu saja
pernyataan al-‘Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah
secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun
kemudian, disini al-‘Utsaimin membatalkanya
dengan menyatakan bahwa” bid’ah dalam
urusan – urusan dunia itu halal
semua, kecuali ada dalil melarangnya. Bid’ah dalam urusan – urusan agama haram dan bid’ah semua kecuali ada dalil
yang membenarkanya” . Dengan
klasifikasi bid’ah menjadi dua ( versi al-‘Utsaimin ) , yaitu bid’ah dalam
hal dunia dan bid’ah dalam hal agama, dan memberi pengecualian dalam
masing – masing bagian, menjadi bukti bahwa al-‘Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (
tidak ada pembagian dalam bid’ah ) . selain itu, pembagian bid’ah menjadi dua
versi ini, tidak memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan , dan hanya
retorika Wahhabisme saja.
Da;am bagian
lain, al-‘Utsaimin juga menyatakan:
وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُفَرَّرَةِ أَنَّ
الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ , فَوَسَائِلُ الْمَشْرُوْعِ
مَِشْرُوْعَةٌ وَوَسَائِلُ غَيْرُ
الْمَشْرُوْعِ غَيْرَُِشْرُوْعَةٍ بَلْ وَسَائِلُ الْمُحَرَّمِ حَرَامٌ ,
فَالْمَدَارِسُ وَتَصْنِيْفُ العِلْمِ وَتَأْلِيْفُ الْكُتُبِ وَإِنْ كَانَ
بِدْعَةً لَمْ يُوْجَدْ فِى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى هٰذَا الْوَجْهِ إِلاَّ
أَنَّهُ لَيْسَ مُقْصَدًا بَلْ هُوَ وَسِيْلَةٌ
وَ الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ,وَلِهٰذَا بَنَى شَخْصٌ مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ مُحَرَّمٍ
كَانَ الْبِنَاءُ حَرَمًا وَلَوْ بَنَى
مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ كَانَ الْبِنَاءُ مَشْرُوْعًا (العثيمين, الابداع فى كمال الشرع وخطر
الا بتداع,18 – 19 )
“
Diantara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum
tujuanya. Jadi perantara tujuan yang distari’atkan, juga disyari’atkan.
Perantara tujuan
yang tidak disyari’atkan, juga tidak disyari’atkan. Bahkan perantara tujuan
yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan madrasah – madrasah,
penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab – kitab, meskipun bid’ah yang belum
pernah ada pada masa Rasulullah Saw dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan
tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara mengikuiti hokum
tujuanya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah untuk mengajarkan
ilmu yang dihramkan, maka membangunya dihukumi haram. Bila ia membangun
madrasah untuk mengerjakan syari’at, maka membangunya disyari’atkan.” (al ‘ Utsaimin, al- Ibda’ fi Kamal al- Syar’i wa
Khathar al-Ibtida’, hal. 18 - 19 )
Dalam
pernyataan ini, al-‘Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil yang diambil sebelumnya. Pada awalnya dia,
mengatakan, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan, tanpa terkecuali adalah
sesat, dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pernah membagi bid’ah
menjadi tiga apalagi menjadi lima. Kini al-‘Utsaimin telah menyatakan, bahwa membangun
madrasah,menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid’ah yang belum pernah ada
pada masa Rasulullah Saw, namun hal ini bid’ah yang belum tentu sesat, belum
tentu ke neraka, bahkan hokum bid’ah
dalam soal ini terbagi menjadi beberpa bagian sesuai dengan hokum dan tujuanya.
Pernyataan ini secara tidak langsung ia mengakui adanya bid’ah dan
macam-macamnya sesuai dengan pembagian dalam hokum Islam, baik pembagian kepada
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, maupun pembagian bid’ah
menjadi bid’ah wajibah, bid’ah mandzubah, bid’ah mahkruhan, bid’ah
muharramah, dan bid’ah mubahah.
2.
Pembagian Bid’ah
Dalam hal ini penulis kutipkan kembali
tanggapan, komentar dan penjelasan Dr.Ibrahim bin Amir ar Ruhaili secara
panjang lebar dalam buku yang sama mengenai pembgian bid’ah dari ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah diatas . Beliau menulis:” Diantara ulama ada yang membai
bid’ah seperti pembagian tingkatan hokum yang lima. Sehinmgga mereka membagi
bid’ah kepada bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Orang yang pertama
kali membagi seperti itu adalah Al Izz bin Abdussalam, beliau mengatakan bahwa
bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikenal di zaman Rasulullah Saw
dan demikian itu terbagi menjadi bid’ah wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Pendapat diatas diteruskan oleh muridnya, Al- Qarafi dan dia
mengatakan, para ulama sepakat mengingkari bid’ah, padahal yang benar bid’ah
terbagi menjadi lima:
Bid’ah wajibah: Bid’ah yang berkaitan dengan kaidah wajib seperti
pengumpulan Al – Qur’an dan ajaran yang dikhatarikan lenyap, karena
menyampaikan kebenaran wajib dan menyia – nyiakan haram secara ijma’
Bid’ah haram: Bid’ah yang berkaitan dengan nash atau kaidah agama yang
mengharamkan sesuatu seperti pajak dan pungutan yang berlawanan dengan kaidah
agama, suatu contoh mengedepankan orang bodoh dari orang alim atau menyerahkan
jabatan kepada orang yang tidak professional dengan cara KKN
Bid’ah Sunnah: Bid’ah yang ada sangkut pautnya dengan dalil atau kaidah
sunnah seperti shalat tarawih, memberi jaminan kesejahteran kepada imam dan
para hakim serta para pejabat tinggi yang tidak dilakukan pada zaman shahabat,
dalam rangka menjaga kewibawaan pemimpin di depan rakyatnya.
Bid’ah makruh: Bid’ah yang ada kaitanya dengan dalil atau kaidah hokum
makruh, seperti mengkhususkan ibadah pada hari – hari utama sebagaimana hadits
riwayat Muslim bahwa Rasulullah Saw melarang mengkhususkan hari Jum’at untuk puasa atau qiyamul lail pada malamnya
( H.R.Muslim)
Begitu juga menambah dalam perkara sunnah yang terbatas seperti
menambah bilangan tasbih 33 kali menjadi seratus, menambah jumlah zakat fithrah
menjadi sepuluh sha’. Karena tambahan itu bukti tidak punya adab dan sikap menentang
kepada Allah. Apalagi tambahan dalam perkara wajib, karena bisa saja muncul
keyakinan bahwa tambahan itu juga wajib.
Bid’ah mubah: Bid’ah yang
berkaitan dengan dalil atau kaidah hokum yang mubah, seperti membuat tepung
dari kurma. Dan ini bid’ah yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah Saw
karena mencari cara hidup yang layak suatu hal yang boleh.
Selanjutnya beliau menambahkan,”
Pembagian bid’ah seperti diatas merupakan kebatilan dan ditentang oleh
para ulama, diantaranya Imam Syathibi menyatakan bahwa, pembagian seperti itu merupakan
tindakan mengada – ada yang tidak bisa dibuktikan dengan dalil, bahkan terdapat
kontradiksi sebab hakikat bid’ah suatu yang tidak ada dalilnya secara syar’I
baik secara nash maupun kaidah umum. Bila bid’ah terbagi menjadi wajib,sunnah,
haram, makruh dan mubah, maka tidak ada perkara bid’ah serta termasuk perkara
yang diajurkan bahwa mengumpulkan perkara itu adalah bid’ah, suatu tindakan
yang kontradiktif.
Pembagian bida’ah haram dan makruh bisa saja diterima, tetapi boleh
jadi perkara itu bukan bid’ah namun hanya sekedar maksiat, seperti membunuh,
mencuri, minum khamer.
Semua contoh yang dibuat untuk bid’ah wajib bukan bid’ah, tapi masuk
dalam kaidah mashalih mursalah dan hal itu diamalkan oleh para shahabat,
karena termasuk kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama ushul fiqih. Hal
itu tampak sekali pada proses pengumpulan mushaf dalam rangka untuk menjaga
maslahat agar bacaan Al- Qur’an yang terdiri dari berbagai dialek tetap murni.
Terlebih setelah rasul wafat muncul perselisihan dalam bacaan Al Qur’an,
sehingga para shahabat khawatir muncul pertikaian di kalangan umat. Para
shahabat menetapkan mushaf Utsman sebagai rujukan dan semua bacaan yang ada
dilenyapkan, karena sudah ada semua dalam mushaf tersebut.
Sebenarnya bid’ah sunnah bukanlah suatu bid’ah terlihat dari contoh –
contoh yang ada. Shalat tarawih bukanlah suatu bid’ahkarena Rasulullah Saw
pernah melakukan shalat itu dan semua orang shalat di belakangnya.
Dalam Shahih Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw suatu
malam shalat di masjid, lalu orang mengikuti shalatnya kemudian malam berikut
shalat lagi, lalu banyak orang yang mengikutinya. Kemudian mereka berkumpul
malam ketiga atau keempat, maka Rasulullah Saw
tidak keluar ke masjid. Tatakala pada pagi hari beliau bersabda,” Saya
telah melihat apa yang kalian lakukan, tidak ada orang yang menghalangi aku
keluar, melaikan aku takut shalat ini difardhukan kepada kalian.” Ini
terjadi pada bulan Ramadhan.”
Hadits diatas menunjukkan bahwa shalat tersebut sunnah dan sah bila
dilakukan berjamah. Tidak keluarnya Rasulullah Saw, bukan berarti melarang
shalat tetapi hanya khawatir difardhukan. Sebab waktu itu, wahyu masih turun,
sehingga shalat itu menjadi wajib. Tatkala habis masa wahyu, kembali pada asalnya
dan tidak ada dalil yang menghapus hokum itu.
Tentang Abu Bakar Radlyallahu ‘Anhu yang tidak melakukan hal
itu, mungkin saja karena dua hal,dia memandang bahwa orang melakukan qiyamul
lail pada akhir malam lebih utama daripada mengumpulkan orang pada awal malam di belakang seorang imam,
atau boleh jadi beliau sibuk mengurusi orang - orang murtad karena itu lebih
utama daripada shalat tarawih
Contoh bid’ah mubah dalam masalah membuat tepung dari kurma, hanya
masalah membuat menu makanan dan demikian itu bukan perkara bid’ah kecuali jika
ada unsure berlebihan dan bila tidak ada unsure mubadzir maka tidak
dilarang.
Masalah haram tidak secara mutlak bisa disebut bid’ah, bahkan hanya
disebut pelanggaran karena semua berdsarkan ketentuan syariat seperti membayar
zakat dan pelanggaran dalam masalah diatas tidak bisa disebut perbuatan bid’ah.
Tidak kita ingkari, banyak masalah bid’ah yang masuk ke dalam perkara
makruh. Dan ini tidak perlu dibicarakan, seperti pengkhusususan sebagian malam
atau hari dengan enis ibadah atau menambah perkara sunnah yang terbatas. Sikap
yang baik dalam ibadah mahdhah tidak mengurangi dan tidak menambahi
sebab tindakan itu hanya menimbulkan bida’ah dalam agama.
Kemudian Imam Asy-Syatibi mengkritik pendapat Al- Qarafi, bahwa
kreatifitas seni dan perubahan kondisi politik suatu saat dibutuhkan bahkan
terkadang wajib. Pernyataan diatas sangat kontradiksi dengan ucapan akhir
beliau, bahwa semua kebaikan hanya diperoleh dengan mengikuti sunnah dan segala
keburukan hanya diperoleh dari melakukan kebid’ahan. Berarti semua jenis bid’ah
adalah buruk, tetapi pada sisi lain beliau mengatakan ada bid’ah wajib yang
lazim diamalkan, tidak mungkin bisa dipisahkan seperti masalah shalat di rumah
hasil rampasan.
Jadi pembagian bid’ah seperti diatas merupakan suatu kebatilan dan
tidak bersandar pada dalil, bahkan melawan arus nash- nash agama seperti sabda
Nabi Saw,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Sehingga semua bid’ah terlarang dan
sesat. Bagi orang yang memahami dalil –
dalil dengan baik, mustahil bid’ah dibagi menjadi bid’ah wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah. Maka sadar atau tidak berarti ia telah membuat kedustaan
kepada Allah dan menyelisihi jalan Rasulullah Saw karena Allah telah berfirman:
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada
orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia
tanpa pengetahuan ? “ ( Q.S. al An’âm
( 6 ) : 144 )
Dan Allah memberi peringatan kepada orang yang menyelisihi Rasul,
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali “ (
Q.S. an –Nisâ’
( 4 ) : 115 )
Begitu pula pembagian
bid’ah menjadi bid’ah dlalalah dan bid’ah hasanah, maka jelas
orang yang membagi seperti ini tidak mengerti tentang kaidah dan hakikat inti
ajaran Islam atau memahami sebagian dalil dengan kesimpulan yang pincang,
sehingga menyangka diantara ulama salaf ada yang menyatakan adanya bid’ah
hasanah, padahal semua ulama salaf telah membuat putusan bahwa seluruh bid’ah
sesat.
Demikianlah pendapat
kaum Wahhabiyah yang sudah dikembangkan oleh para pengikutnya dari mulai
generasi pertama sampai generasi sekarang ini, seperti Abdullah bin Baz, Shaleh
al Utsaimin, al-Albani, Arrabi, Al Qahthani, Abdurrahman bin Hasan,Ibnu Abdil
Hadi al-Maqdisi, Ibnu Nashir ad-Dimisqy,sampai kepada H.Mahrus Ali..
3.
Bid’ah Menurut Ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah
- Dr. Ibrahim bin Amir ar Ruhaili
Meskipun beliau tidak
sepakat dengan adanya pembagian bid’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
para ulama Ahlussunnah diatas diatas,
namun ternyata beliau juga mengakui adanya
macam – macam bid’ah walaupun dengan istilah yang berbeda. Untuk lebih jelasnya
disini sengaja penulis kutib secara lengkap pembagian bid’ah menurut beliau
yang termaktub dalam bukunya “ Mawqif Ali al Sunnah wa al-Jama’ah min Ahli
al –Ahwâ wal- al Bidâ, beliau berkata: “ Para ulama membagi bid’ah menjadi
beberapa bagian, semua itu telah diojelaskn secara rinci oleh para ulama.
Karena pembagian itu ada hubunganya
dengan pembahasan ini, maka saya perlu memaparkan sekilas pembagian
bid’ah tersebut tanpa mengurangi bobot pembahasan.
Inilah pembagian bid’ah
secara ringkas.
a. Bid’ah Hakikiyah dan Bid’ah
Idhafiyah
Menurut Imam Syathibi bahwa
bid’ah hakikiyah adalah suatu yang tidak berdasarkan dalil baik dari Al-Qur’an,
As-Sunnah,Ijma’ atau hasil ijtihad di kalangan ulama baik secara global atau
rinci. Meskipun ahli bid’ah mengaku bahwa kebid’ahan itu masih dalam batas
pemahaman dari sebuah dalil, tetapi penmgakuan tersebut tidak benr baik secara
implicit maupun secara eksplisit.
Bid’ah hakiki lebih
banyak ditemukan dalam kehidupan misalnya mengharamkan yang halal seperti
seseorang yang mengharamkan pada dirinya makanan tertentu – tidak makan daging,
tidak mau mengenakan jenis baju tertentu atau tidak mau menikah dan lainya –
sebab Allah SWT berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas “
( Q.S. al Mâidah ( 5 ) : 87 )
Contoh
lain menghalalkan yang haram seperti zina, minum khamar, makan daging babi,
riba dan hal – hal lain yang diharamkan lainya.
Begitu
juga mempersembahkan suatu jenis ibadah kepada selain Allah seperti
menyembelih, nadzar kepada selain Allah, berdo’a kepada selain Allah atau
mengaku tahu perkara ghoib.
Termasuk
juga pengingkaran kehujjahan sunnah, mengaku aku jadi nabi, mengaku dapat wahyu
dan yang lainya. Tidak ada yang mengingkari bahwa perkara itu bid’ah, melainkan
ahli bid’ah.
Adapun
bid’ah Idhafiyah, menurut Imam Syathibi adalah yang memiliki standar ganda.
Pertama; perkara tersebut
dikuatkan oleh dalil – dalil tertentu di satu sisi, yang demikian bukan bid’ah.
Kedua; di sisi lain perkara
tersebut tidak punya kaitan dengan dalil sama sekali seperti halnya
bid’ah hakikiyah. Bila suatu amal perbuatan memiliki dua makna yang
rancu sehingga tidak bisa murni, maka disebut dengan bid’ah idhafiyah. Sebab
dari satu sisi bisa dianggap sunnah karena berkaitan dengan dalil, tetapi dari
sisi lain disebut bid’ah karena
bersandar pada syubhat bukan pada dalil.
Perbedaan
antara keduanya dari sisi makna, bahwa secara dasar ada dalil yang membenarkan,
tetapi dari segi teknis dan cara serta pelaksanaan tidak ada dalilnya. Padahal
perkara itu sangat dibutuhkan karena selalu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah
bukan kebniasaan belaka.
Pertama; perkara tersebut
dikuatkan oleh dalil – dalil tertentu di satu sisi, yang demikian bukan bid’ah.
Kedua; di sisi lain perkara
tersebut tidak punya kaitan dengan dalil sama sekali seperti halnya
bid’ah hakikiyah. Bila suatu amal perbuatan memiliki dua makna yang
rancu sehingga tidak bisa murni, maka disebut dengan bid’ah idhafiyah. Sebab
dari satu sisi bisa dianggap sunnah karena berkaitan dengan dalil, tetapi dari
sisi lain disebut bid’ah karena
bersandar pada syubhat bukan pada dalil.
Perbedaan
antara keduanya dari sisi makna, bahwa secara dasar ada dalil yang membenarkan,
tetapi dari segi teknis dan cara serta pelaksanaan tidak ada dalilnya. Padahal
perkara itu sangat dibutuhkan karena selalu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah
bukan kebniasaan belaka.
Bid’ah
Idhafiyah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Lebih dekat
dengan bid’ah hakikiyah sehingga masuk pada perkara bid’ah secara hakiki.
Kedua: perkara yang jauh
dari bid’ah hakikiyah hingga bisa masuk dalam kategori sunnah biasa.
Contoh
pertama: Ada seorang mukallaf yang memiliki dua cara dalam beribadah untuk
akhirat, salah satunya gampang dan yang lain susah tetapi keduanya memiliki
harga yang sama. Namun orang yang berlebihan pasti akan memilih jalan susah,
maka ia memilih pakaian dan makanan yang
tidak bagus hanya karena sikap berlebihan.
Contoh
tipe pertama: Asal ibadah dianjurkan, tetapi sudah keluar dari rel asalnya
ketika menambah sesuatu dalam ibadah dengan menyangka bahwa perbuatanya itu
dibenarkan oleh dalil yang diproduksi akalnya. Contohnya seperti orang yang
mengkhususkan hari tertentu dengan shalat, sedekh atau qiyamul lail dengan
rakaat tertentu. Bila amalan atau pengkhususan itu bukan ketepatan atau tujuan
untuk mengisi kekosongan maka bisa disebut syari’at baru.
Contoh
tipe kedua: Asal usul amalan dianjurkan tetapi menjadi bid’ah karena untuk
menghindari kebid’ahan, seperti orang yang tidak pernah meninggalkan sunnah
biasa dan menjadikan laksana sunnah rawatib, boleh jadi dilakukan terus menerus
atau dilakukan pada waktu tertentu dengan cara tertentu seperti melakukan
shalat sunnah dengan berjamaah dalam suatu masjid, tempat shalat fardlu selain
bulan Ramadhan atau tempat – tempat lain yang digunakan untuk shalat sunnah
rawatib. Maka ini adalah bid’ah.
a. Bid’ah Adat dan Bid’ah Ibadah
Bid’ah yang berhubungan
dengan perbuatn hamba terbagi menjadi bid’ah adapt dan bid’ah ibadah.
Bid’ah ibadah berkaitan
dengan jenis ibadah. Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ialah segala
sesuatu yang yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan dan perbuatan
zhahir maupun batin.
Bid’ah adat berkaitan dengan
adapt kebiasaan, yang menurut Syaikh Ali Mahfudz adapt kebiasaan ialah segala
sesuatu yang bukan diamksudkan untuk taqarrub ( penghambaan ) kepada
Allah. Aslinya bukan bernilai ibadah, hanya saja mungkin bisa bernilai taqarrub
karena factor luar yang tidak lazim. Jadi, segala aktifitas yang berkaitan
dengan usaha manusia untuk meraih keuntungan dunia seperti akad dan transaksi
kepemilikan masuk dalam adapt kebiasaan.
Tidak diragukan bahwa bid’ah
dalam masalah ibadah sangat mungkin terjadi, karena ibadah kadang berkaitan
dengan amalan hati dan keyakinan serta gerakan tubuh berupa ucapan dan
tindakan. Baik amalan hati atau gerakan tubuh bisa kemasukan bid’ah seperti
kelompok Qadariyah, Murji’ah, Khawarij, Muktazilah dan kelompok yang suka
menghalalkan segala cara dalam memnuat bentuk dan praktek ibadah, tanpa ada
contoh sebelumnya dan tanpa memiliki rujukan dalil kaidah.
Masalah bid’ah adapt, para
ulama berbeda pendapat; sebagian ulama diantaranya Al- Izz bin Abdus Salam dan
muridnya Al-Qarafi mengatakan bahwa bid’ah bisa masuk kepada adapt kebiasaan
secara mutlak, sebab syariat telah dating kepada manusia membawa konsep lengkap
untuk semua maslahat kehidupan. Sehingga membuat bid’ah dalam adapt kebiasaan
sama seperti membuat bid’ah dalam ibadah, maka bid’ah sangat mungkin masuk
dalam kedua masalah diatas.
Sebagian lain menyatakan
bahwa bid’ah tidak bisa masuk dalam masalah adapt kebiasaan secara mutlak,
hanya khusus dalam masalah ibadah.
Jika perkara bid’ah masuk
dalam adapt kebiasaan berarti seluruh masalah yang tidak ada pada zaman genersi
pertama, baik yang berkaitan dengan
kebiasaan makan, minum, berbicara dan kasus – kasus serta penemuan baru masuk
dalam bid’ah. Jelas ini suatu hal yang sangat menyusahkan karena sarana
kehidupan sangat dinamis dalam setiap kondisi dan tempat.
Imam Syathibi merinci bahwa
bid’ah tidak masuk dalam adapt kebiasaan, kecuali bida mengandung makna ibadah
karena setiap kebiasaan yang mengandung makna ibadah yang terikat dengan dalil,
maka bagi seorang mukallaf harus mengikutinya, sehingga bid’ah masuk dalam
kebiasaan hanya lewat situ saja.
Beliau menegaskan, menurut
kaidah syariat setiap kebiasaan tidak lepas dari nilai ibadah. Sebab sesuatu
baik berupa perintah atau larangan yang maknanya tidak bisa dicerna oleh akal
pikiran secara rinci, maka masuk dalam masalah ibadah dan segala pekerjaan yang
bisa dicerna akal sehat dan diketahui
maslahat dan madharatnya itulah yang dimaksud dengan adapt kebiasaan. Masalah thaharah,
shalat, puasa dan haji semuanya masuk dalam masalah ibadah. Adapun jual beli,
nikah, talak, sewa – menyewa, hokum jinayat semuanya masuk dalam kebiasaan karena punya makna yang mampu dicerna oleh
akal. Tetapi perkara itu juga mengandung unsure ibadah, sebab masih ada kaitan
dengan dalil syar’I dan mengikat seorang mukallaf baik putusan wajibatau
memilih, karena pilihan dalam masalah ibadah tetap memiliki keterikatan seperti
halnya suatu putusan. Bila demikian, maka sangat mungkin perkara bid’ah masuk
dalam masalah adapt kebiasaan, tetpi hanya terbatas sisi tertentu yang memiliki
nilai ibadah tersebut.
Demikian perbedaan ulama
tentang masuknya bid’ah dalam adat kebiasaan, masing – masing melihat dari
sudut pandang tertentu yang melupakan sisi lain. Dengan demikian terdapat titik
temu diantara dua pendapat diatas. Di akhir pembahasan masalah ini Imam
Syathibi berkata,” Asalnya perkara
bid’ah tidak masuk dalam masalah adapt kebiasaan, bila semata – mata dipandang
sebagai adapt kebiasaan. Kecuali bila diposisikan sebgai ibadah atau menjadi
kebiasaan yang dilazimkan, pada saat itu bid’ah bisa masuk dalam kebiasan.
Dengan demikian, terdapat titik temu dari dua pendapat, sehingga menjadi satu
madzhab.”
c. Bid’ah Fi’liyah dan Bid’ah
Tarkiyah
Adapun bid’ah fi’liyah
adalah mengerjakan suatu ajaran yang tidak dianggap agama sebagai tuntunan.
Kebanyakan bid’ah muncul dari jenis ini. Contohnya membuat hadits palsu dan
menambah ajaran yang bukan dari agama, seperti menambah rakaat dalam shalat,
menambah hari dalam puasa atau shalat, puasa pada waktu terlarang atau
memasukkan ajaran yang bukan dari bagian agama baik berupa pemikiran atau
perbuatan.
Saya tidak menemukan
definisi bid’ah tarkiyah tetapi harus tetap diberi batasan batasan makna agar
menjadi jelas. Menurut saya bid’h tarkiyah adalah, meninggalkan sesuatu yang
mubah atau anjuran yang bersifat wajib atau sunnah dengan disertai Istihsan
( angapan baik ).
Berarti bukan bid’ah fi’liyah,
jika meninggalkan suatu yang makruh atau yang haram, sebab bukan suatu hal
keharusan dan berpahala, serta bukan
meninggalkan sesuatu karena malas atau yang lain karena meninggalkan kewajiban
karena malas, sebab malas adalah maksiat. Dan maksiat bukan perkara bid’ah,
dengan demikian boleh meninggalkan perkara yang bersifat sunah apalagi yang
mubah. Begitu juga orang yang meningalkan perintah karena udzur sakit atau yang
lain bukan hal yang bid’ah meskipun meninggalkan yang wajib.
Contoh bid’ah tarkiyah
yang berkaitan dengan perkara mubah, menghindari jenis makanan tertentu yang
mubah dengan menganggap bagian dari ibadah karena dalam hadits yang
diriwayatkan At – Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki – laki mendatangi
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata,” Wahai Rasulullah bila
saya makan daging, maka saya tertarik dengan wanita lalu aku tergoda oleh
nafsuku sehingga aku mengharamkan daging bagi diriku, maka turunlah firman
Allah,
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas “ (
Q.S. al Mâidah ( 5 ) : 87 )
Contoh bid’ah tarkiyah
yang berkaitan dengan perkara sunnah seperti meningalkan shalat sunnah, siwak,
sedekh atau yang semisalnya. Bila ditinggalkan terus menerus dengan disertai
anggapan baik maka termasuk perkara bid’ah
Adapun contoh bid’ah tarkiyah
yang berkaitan dengan perkara wajib seperti meninggalkan shalat fardlu, zakat,
puasa dan haji dengan disertai anggapan bahwa tindakan meninggalkan hal itu
baik, dan diyakini sebagai suatu ajaran. Sebagaiman anggapan sebagian ahli
kebatinan yang menyangka bahwa bila ia sampai pada maqam atau posisi tertentu,
maka syari’at sudah tidak berlaku bagi dirinya.
d. Bid’ah I’tiqadiyah dan Bid’ah
Amaliyah
Bid’ah I’tiqadiyah
ialah suatu I’tiqad yang berlawanan dengan ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan para shahabatnya Radliyallahu Anhum, baik yang bersangkutan
mengamalkan atau tidak.
Contohnya bid’ah kelompok
Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah dan Murji’ah.
Adapun bid’ah Amaliyah
adalah mengamalkan ajaran yang tidak dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, setiap ajaran yang
tidak ada ketentuanya baik yang bersifat wajib atau sunnah termasuk bid’ah.
Macam – macam bid’ah
amaliyah:
Pertama: Bid’ah tambahan dalm jenis ibadah, seperti tambah
satu raka’at dalam shalat zhuhur dan ashar.
Kedua: Bid’ah tambahan dalam cara pelaksanaan ibadah yang
dikerjakan dlam tanpa menggunakan petunjuk, seperti berdzikir berjamaah setelah
shalat fardlu.
Keemnpat: Bid’ah
pengkhususan waktu ibadah seperti mengkhususkan malam pertengahan Sy’aban dan
Qiyamullail. Asalnya puasa dan shalat dianjurkan, tetapi pengkhususan pada
waktu tertentu butuh suatu dalil
e. Bid’ah Kulliyah dan Bid’ah
Juz’iyah
Bid’ah Kulliyah menurut
Imam Syathibi ialah, munculnya kerancauan dalam syari’at secara umum disebabkan
oleh suatu bid’ah seperti bid’ah menganggap baik dan buruk terhadap sesuatu
dengan ukuran akal, bid’ah pengingkaran terhadap sunnah dan cukup mengambil Al-
Qur’an serta bid’ah firqah Khawarij yang berkata bahwa tidak berhukum kecuali
hokum Allah.
Bid’ah yang menimbulkan kerancuan
pada sebagian cabang agama seperti bid’ah Tatswib dalam azan shalat dan bid’ah adzan dan iqamah
pada shalar Idul Fithri dan Idul Adha dan semisalnya.
Bid’ah semacam ini tidak
ada keterkaitan dengan cabang lain dan tidak bisa dijadikan landasan pengkiasan.
f. Bid’ah Basithah dan Bid’ah
Murakkabah
Bid’ah Basithah
adalah penyelewengan ringan pada sisi cabang agama, yang tidak menimbulkan
ekses pada masalah lain, seperti orang yang menyambung antara shalat sunnah
dengan shalat fardlu tanpa ada pemisah, baik berupa bacan tasbih atau perbuatan
yang semisalnya.
Bid’ah murakkabah
adalah mendahulukan akal diatas nash dalam menarik kesimpulan dalil,
beranggapan bahwa sebagian tokoh sufi mempunyai ilmu laduni, membuat
takwil nash yang keluar dari petunjuk dan makna yang dimaksud oleh Allah dan
Rasul-Nya seperti takwil terhadap asma dan sifat – sifat dan takwil sesat
lainya. Dan cara itu menjadi sarana musuh Islam untuk menghancurkan agama, yang
diwakili kaum zindiq dan ateisme.
g. Bid’ah Mukaffirah dan Bid’ah
Ghoiru Mukaffirah
Bid’ah yang merusak ajaran Islam terbagi
menjadi dua. bida’ah mukaffirah dan bid’ah ghairu mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah
ialah pengingkaran ijma’ ulama yang dikenal dengan mudah oleh orang awam
seperti penolakan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib atau mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram, atau menibatkan apa – apa yang tidak layak
bagi Allah yang sudah menjadi ketetapan Allah dan Rasul-Nya serta Kitab-Nya
dengan penafian dan penetapan, karena termasuk pendustaan terhdap agama.
Sebagaimana bid’ahnya
kelompok Jahmiyah dalam mengingkari sifat Allah, dan pernyataan mereka bahwa
Al-Qur’an dan semua sifat Allah adalah makhluk serta mengingkari bahwa Allah
mengambil Ibrahim sebagai Khalil ( kekasih ) dan Allah mengajak nabi
Musa. Begitu juga bid’ahnya kelompok Qadariyah yang menafikan ilmu, perbuatan,
putusan Allah dan ketetapan Allah dalam masalah taqdir. Bid’ahnya kelompok
Mujassimah ( ingkarnasi ). Intinya ingin mengharcurkan Islam, sehingga bisa
dipastikan kekafiran kelompok tersebut, bahkan mereka jauh dari Islam dan musuh
agama paling utama, tetapi mereka bisa divonis kufur setelah ditegakkan hujjah.
Adapun bid’ah ghoiru
mukaffirah ialah segala bid’ah yang tidak mengandung unsure pendustaan
terhadap Al- Qur’an dan ajaran yang dibawa oleh para Rasul, bahkan bid’ah itu
muncul dari takwil dengan dasar nafsu belaka dan bid’ah itu tidak sama derajat
kesesatanya.
Imam Asy –Syathibi
menyebutkan bahwa tingkatan bid’ah terbagi menjadi bid’ah besar dan bid’ah
kecil. Lalu beliau menuturkan bahwa kesimpulan yang mendekati kebenaran dari
kitab Muwâfaqât adalah bid’ah besar berkisr pada masalah yang membuat rusaknya lima hal pokok dalam setiap agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta. Setiap nash semuanya merujuk untuk menjaga
maslahat lima perkara tersebut dan suatu yang tidak ada nashnya masuk secara
implisit dengan ijtihad. Semua usaha para ulama tidak lain hanya untuk memelihara
hal tersebut, maka setiap bid’ah yang membuat pondasi agama cacat masuk dalam
bid’ah besar bila tidak maka masuk dalam bid’ah kecil.
Jadi, semua bid’ah yang
mengingkari perkara agama yang dikenal oleh semua orang, maka termasuk bid’ah mukaffirah.
Dan bila muncul dari pentakwilan, maka termasuk bid’ah ghoiru mukaffirah namun
masih berbeda – beda. Bila bersinggungan dengan masalah lima pokok agama, maka
termasuk bid’ah besar. Bila tidak, termasuk dalam bid’ah kecil. Tetapi hal ini
permanent, bahkan terkadang berbeda – beda sesuai perbedaan kondisi bid’ah,
baik dari sisi ilmu, kebodohan atau dari sisi komitmen dan tidaknya. Sehingga
bisa saja bid’ah kecil berubah menjadi besar, atau bid’ah yang ghoiru
mukaffarah berubah menjadi bid’ah
menjadi bid’ah mukaffarah.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai
dari al – Imam Syafi’i.Ibn Abdilbarr, ibnu al-Arabi, Ibn Atsir, Izzuddin ibn
Abdissalam, al- Nawawi, al- Hafizh Ibnu Hajar, al- ‘Aini, al-Shan’ani,
al-Syaukani dan masih banyak ulama –
ulama lain yang tidak dikutip disini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu
bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Bahkan lebih rinci lagi,
bida’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hokum-hukum
yang berlaku dalam agama
DAFTAR PERPUSTAKAAN
An –
Nawawy, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarif, Riyadhus Sholihin Min
Kalami Sayyid al Mursalin, Syarkat Nur Asia, tanpa keterangan
Al
Muqaddasy,Muhammad Ilmy Zada Faidhullah al husainy,Fathur Rahman
Lithalibi Ayatil Qur’an,Maktabah Dahlan Indonesia,tanpa
keterangan
Abdul
Wahhab Khalaf, Prof.DR, Khulashah Tarikh Tasyri’ Islami ( Terjemahan K.H.Abdul
Aziz Masyhuri ) , Ramadhani Solo, tanpa keterangan
Al Ghazali,Abu Hamid Muhammad bin Muhammad,Ihyaulumiddin,Usaha Keluarga Semarang,tanpa keterangan
Amar Faqih, K.H. Jadilah Mukmin Sejati
( terj. Hidayatul Ummah oleh H.Bey Arifin ), P.T.Bina Ilmu Surabaya, tanpa
keterangan,
Al Jawy,Muhammmad Nawawi bin Umar,Syaikh,Murah
Labid li Kasyfi Ma’na Qaur’ Majid ( Tafsir Munir ) Usaha Keluarga
Semarang tanpa keterangan
Al- Maliki, Ahmad Shawy, Hasyiyah al
Alamah al –Shawy ala Tafsir al Jalalaini, Maktabah Darul Ulum
Indonesia, tanpa keterangan
Ahdjad,Nadjih,K.H,Tarjamah Al Jami’ush
Shagier,P.T.Bina Ilmu Surabaya,cetakan 2004
Ahdjad,Nadjih,K.H,Kitab Janazah Tuntunan
Menyelenggarakan Janazah Menurut Sunnah Rasulullah,Bulang Bintang
Jakarta,Cetakan II,Tahun 1991
Ali Ma’shum,K.H,Hujjatu Ahli al Sunnah wa
al Jama’ah,Ibnu Masyhadi Sampangan Pekalongan,tanpa keterangan
Abdusshomad,Muhyidin,K.H.Fiqh
Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari,Pustaka
Bayan-Nurul Islam –Khalista Surabaya,Cetakan III 2005
Abdusshomad,Muhyidin,K.H,Tahlil Dalam
Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Bayan-Nurul Islam –Khalista
Surabaya,Cetakan III 2005
Al Hasany,Muhammad bin Alwi Al Maliki,Syaikh, Mafahim
Yajibu An Tushsshhahah,Darul Insan Kairo Mesir,cetakan
I,1985
Alwi,Muhammad Bashori,K.H,Selamatan dan
Tahlil Untuk Mayit,Thoyyibah Lawang Malang ,cetakan II,1979
Abdul Manan, Imron,Drs,Kupas Tuntas
Maslah Peringatan Haul, Sebuah Upaya Otokritik dari Kalangan Ulama Ahlussunnah
wal Jamaah,Al-Fikar , cetakan 2005
Abdul Manan, Imron,Drs, Kupas Tuntas
Maslah Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Al-Fikar ,
cetakan 2005
At Taimy,Syaikh Abu Umar Shalih bin Ali al
Musnad, Ziarah Kubur Yang dicontohkan Rasulullah saw,At Tibyan
Solo,cetakan I,Tahun 1997
Abu Amar,Imron,Drs.H,Sebuah Jawaban Bahwa
Kitab Manakib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Tidak Merusak Aqidah Islmiyah,Menara
Kubus, Cetakan I,1989
Abu Amar,Imron,Drs.H, Peringatan Haul
Bukan Ajaran Islam adalah Pendapat yang sesat, Menara Kubus, Cetakan
I,1995
Asmuni,K.H.A.Yasin,Tahlil dan Fadlilahnya,
PP.Hidayatut Thulab Prtuk Semen Kediri,cetakan I,2007
Asmuni,K.H.A.Yasin,Istighatsah Sebagai
Jalan Pintas Dikabulkan Do’a PP.Hidayatut Thulab Petuk Semen
Kediri,cetakan I,2007
Ahmad Murtadlo Hasabu, Sekilas Kisah
Simbah Kyai Raden Santri dan Tatacara Ziarah Kubur, Yayasan K.R.Santri
Puroloyo Gunungpring Muntilan,tanpa keterangan
Ahmad Talkhish Abdur Rosyid, Jami’ush
Shalawat Wa Khashiyatuha, Andalas Surabaya, tanpa keterangan
Ahmad Subki Masyhadi, K.H, Kebenaran
Argumentasi Ahlussunnah Wal Jamaah, Udin Putra Pekalongan, cetakan I,
1983
’Alaudiin
Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir Al-Khazib, Lubab Al- Ta’wil
Fi Ma’ani Al-Tabzil Juz II, Darul Fikr Beirut, 1979 M / 1399 H
A’id Al- Qarni,Muhammad bin Abdurrahman Al
–Uraifi, Muhammad bin Husain Ya'qub, Malam
Pertama Di Alam Kubur, Aqwam Jembatan Ilmu, Solo, Cetakan XI, 2006
Bahauddin bin Abdulloh Ibnu ‘ Aqil, Syarh
Ibnu Aqil, Syarkat al-Ma’arif Bandung, tanpa keterangan
Bashori Alwi,K.H, Selamatan dan Tahlil
Untuk Mayit, Thoyyibah Singosari Malang, cetakan I,1979
Dahlan, Bukhori,K.H,Petunjuk Praktis
Ziarah Walisongo,Penduan Lengkap Ziarah Kubur Walisongo,Karya Agung
Surabaya,Cetakan I, 2005
Hasan al Bana, Al-Aqaid, Dar Fikr
al Arabi Koiro Mesir, cetakan I, 1371 H
Hartono Ahmad Jaiz,Tasawwuf Belitan Iblis,
Darul Falah Jakarta,Cetakan V,2005
Ibnu Hajar al-Asqalani,Fathul Bari Juz XII,,
Mushthafa Babil Halaby Koiro Mesir, etakan tahun 1959
Jalaluddin Abdurrahman bi Abi Bakar as –
Suyuthi, al – Jami’ al- Shagier fi Ahaaditsi al Basyir
al-Nadzir, Syarkat Nur Asiya , tanpa keterangan
Jalaluddin Abdurrahman bi Abi Bakar as –
Suyuthi, al – Itqan fi Ulum al Qur’an , Mushthafa Babil Halabi
Mesir,tanpa keterangan
M.Ali Hasan,Drs.H, Bagaimana Sikap Muslim
Menghadapi Masalah Khilafiyah, Bulan Bintang Jakarta, Cetakan IV,1982
Mahrus
Ali,H, Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para
Wali, La Tasyuk Press Surabaya, cetakan I, 2008.
Mushthafa
Muhammad ‘Imarah, Jawahir al Bukhari, Al Istiqamah Koiro Mesir,
Cetakan VII, 1371 H
Muhammad
Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi Dalam Perspektif Ahli Hadits dan
Ulama Salaf,Khalista Surabaya,Cetakan I,2010
Sayid Sabiq,Aqidah Islam,CV
Diponegoro Bandung,Cetakan VII Tahun
1986
Syamsuddin Muhammad bin
Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakr
al- Sakhawi, Al- qawl al Badi' fi al Shalat 'ala al Habib al Syafi',Maktabah
Ilmiyah Madinah,cetakan 1977
Tim Bahtsul Masail PCNU
Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat
& Dzikir Syirik ( H.Mahrus Ali ), Al-Bayan – Khalista, Surabaya,
cetakan II, 2008
Tim
Penyusun Buku Agama PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, Pendidikan Aswaja
Ke-Nu-an, PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, Cetakan 2002
Tim PWNU
Jawa Timur, Aswaja an Nahdliyah Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang
berlaku di Lingkungan Nahdlotul Ulama.
LTN -NU Jawa Timur,Cetakan I,2007
Umar,M.Ali
Chasan,Kumpulan Shalawat Nabi Lengkap Dengan Khasiatnya,
C.Thoha Putra Semarang,tanpa keterangan
Yusuf
Muhammad,K.H,Lc, Ukhuwah Islamiyah Dalam Keberagaman Wawasan Islam ( Makalah Seminar Sehari
tentang Citra Generasi Muda Islam Membangun
Masa Depan Umat pada tanggal 6 Janusri 1991 di Pendopo Pembantu Bupati
di Sidayu Gresik
Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Lubuk Agung Bandung, tahun 1989