BID’AH HASANAH
Sebenarnya,
meskipun sebagian umat Islam ada yang menganggap bid’ah diantara sebagian amalan
–amalan kita, tentunya kita tidak perlu risau. Kita contohkan disini
seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Isra’ Mi’raj, Nishfu Sya’ban
walaupun ada yang menganggap sebagai bid’ah, sekali lagi kita tidak perlu risau dengan adanya
anggapan itu. Dan kita pun tidak perlu bersusah payah membuang – buang energi
hanya untuk berdebat maengenai kedudukan hukumnya. Mengingat kegiatan tersebut
bukanlah termasuk syari’at, hanya suatu tradisi baik dari umat Islam yang dapat
dilestarikan untuk diambil manfaatnya.
Dan pada hakikatnya kegiatan ini hanyalah sebagai sarana mengumpulkan
umat Islam untuk bersama- sama mengkaji ilmu. Jadi, yang terpenting adalah berkumpulnya umat
Islam dalam momen itu untuk mengkaji ilmu pengetahuan yang diperintahkan oleh
Rasulullah saw.
Kita berbangga
hati menyaksikan semaraknya kegiatan pengkajian keislaman di berbagai tempat,
khususnya di Indonesia.
Semaraknya pengajian itu bisa kita saksikan pada berbagai acara seminar,
lokakarya, diskusi, bedah buku, dan sebagainya yang diselenggarakan dalam momen
– momen tertentu, termasuk juga dalam pengkajian masalah Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj,Nishfu
Sya’ban yang khusus diselenggarakan dalam memperingati peristiwa – peristiwa
tersebut.
Peringatan
hari- hari besar Islam, termasuk di dalamnya pengajian dalam rangka peringatan Maulid
Nabi,Isra’ Mi’raj dan Nishfu Sya’ban rupanya sudah menjadi tradisi tahunan,
baik di selengarakan oleh warga masyarakat muslim, perusahaan, oraganisasi
sosial kemasyarakatan, dan intansi pemerintah. Peringatan Maulid Nabi, Isra’
Mi’raj dan Nuzul al Qur’an di Negara kita malah mendapatkan keistimewaan
khusus dari pemerintah Republik Indonesia disamping hari besar Islam
lainya. Penyelengraan peringatan hari besar Islam, termasuk Maulid Nabi, Isra’
Mi’raj dan Nuzul al Qur’an tidak saja
diselenggarakan di kota besar tetapi juga merambah hingga desa terpencil.
Bahkan khusus peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan
Nuzulul Qur’an diadakan pula di Istana Negara
dan Masjid Istiqlal Jakarta, yang secara langsung disiarkan melalui
media elektronik, dimana dalam peringatan ini senantiasa dihadiri oleh Presiden
dan pejabat tertinggi dan tinggi Negara lainya.
Telah menjadi
kebiasaan kita, berkumpul untuk menghidupkan sejumlah peristiwa bersejarah,
seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nishfu Sya’ban,Nuzulul Qur’an, Hijrah Nabi,
dan sebagainya. Ditinjau dari hukum Islam, kata Sayyid Muhammad Alwi
al-Maliki, perkara ini tidak ada
hubunganya dengan syari’at Islam karena perkara ini adalah masalah adat
kebiasaan. Oleh karena itu, perkara ini tidak dikatakan telah disyari’tkan atau
merupakan sunnah sebagaimana juga ia tidak bertentangan dengan suatu prinsip
dari ptinsip – prinsip agama. Karena, yang berbahaya adalah adalah bila
seseorang meyakini disyari’atkanya suatu perkara, padahal ia tidak
disyari’atkan. Menurut saya, hal – hal yang merupakan adat kebiasaan seperti
ini tidak bisa dikatakan lebih disukai atau di benci oleh syari’at. Saya kira
ukuran ini telah disepakati. Sebagian orang telah menyatakan bahwa peristiwa –
peristiwa ini dimana orang – orang berkumpul untuk menghidupkanya itu menjadi
berkurang artinya dengan ditentukanya secara tepat waktu yang disepakati.
Mereka mengatakan demikian. Sesungguhnya orang – orang membiasakan diri
berkumpul pada malam dua puluh tujuh untuk memperingati Isra’ Mi’raj, mereka
berkumpul pada malam dua belas Rabi’ul
Awal untuk menghidupkan kelahiran Nabi Saw, padahal para ulama berbeda pendapat
dalam menentukan kejadian ini secara tepat. Terhadap anggapan demikian, saya
berpendapat sebagai berikut: Sesungguhnya tidak adanya kesepatakan dalam penentuan waktu tidak
berpengaruh, karena kita tidak berkeyakinan disyari’atkanya penentuan
berkumpulnya itu dengan waktu tertentu, melainkan hanya merupakan kebiasaan
sebagaimana kami telah terangkan diatas. Yang terpenting bagi kita adalah menggunakan
kesempatan berkumpul untuk mengusahakanya ke arah kebaikan. Sehingga, pada
malam – malam ini orang – orang berkumpul didalamnya dalam jumlah yang besar,
sama saja apakah benar atau salah waktunya. Karena, tujuan berkumpulnya mereka
semata – mata untuk mengingat Allah dan mencintai Rasulullah adalah cukup untuk
mendapatkan rahmat dan karunia-Nya.
Sesungguhnya
saya benar – benar berkeyakinan bahwasanya berkumpulnya orang – orang itu
selama mereka berkumpul karena Allah ( lillah ) dan pada jalan Allah ( fillah
) , maka berkumpulnya mereka diterima
disisi Allah walaupun salah dalam menentukan waktunya. Saya akan
memberikan contoh mengenai hal itu untuk mudah difahami oleh akal, yaitu
seseorang yang mengundang suatu pesta pada hari yang ditentukan. Kemudian
sebagian undangan datang bukan pada
waktunya karena menyangka bahwa itulah waktunya. Lalu bagaimana menurut Anda,
apakah si pemilik resepsi itu akan mengusir atau menolak mereka dengan kasar
dan keras serta menghalangi mereka seraya menyatakan,” Pulanglah dan pergilah
kalian, karena waktu ini bukanlah waktu resepsi dimana saya undang kalian dan
saya tentukan waktunya” ataukah menurut Anda ia akan menyambut mereka dengan
baik, mengucapkan terimakasih kepada mereka atas kedatangan mereka, membukakan
pintu buat mereka, meminta mereka masuk, dan mengharapkan mereka untuk datang
pada kesempatan lain dalam waktu yang ditentukan ? Inilah yang dapat saya
ilustrasikan dan itulah yang sesuai dengan karunia Allah dan anugerah-Nya.
Jika kita
berkumpul untuk memperingati Isra’ Mi’raj atau kelahiran Nabi dan peringatan
apapun dari peringatan – peringatan yang bersejarah, maka tidak penting bagi
kita masalah penentuan waktu yang tepat.
Karena, jika waktunya sesuai dengan kejadian dan waktu yang sebenarnya, maka
al-hamdulillah. Tetapi jika tidak, maka sesungguhnya Allah SWT tidak menolak
kita dan tidak mengunci pintu rahmat-Nya buat kita.
Oleh karena
itu, menggunakan kesempatan berkumpul dengan berdo’a, mengarahkan diri kepada
Allah, dan bertrujuan untuk mendapatkan anugerah – anugerah-Nya, kebaikan –
kebaikan-Nya, dan keberkahan – keberkahan-Nya menurut saya adalah lebih besar
daripada manfaat peringatan itu sendiri. Menggunakan kesempatan berkumpulnya
orang – orang dengan mengingatkan mereka, membimbing mereka, menasehati mereka,
dan mengarahkan mereka kepada kebaikan adalah lebih baik daripada menghalangi
dan menolak mereka, serta menyalahkan berkumpulnya mereka dengan sesuatu yang
tidak ada gunanya, karena sebagaimana yang dapat disaksikan, hal itu tidak
bermanfaat dan tidak berfaedah.
Kedatangan mereka dan berpegang teguhnya
mereka akan semakin bertambah setiap kali bertambah pengingkaran ( penyalahan )
terhadap mereka atau bertambah keras, hingga seolah – olah orang yang melarang
mereka seperti orang yang menyuruh mereka untuk mengerjakan tanpa ia sadari.
Sesungguhnya
orang- orang yang berakal, yang mempunyai pikiran dan suka mengajak orang,
berharap mendapat tempat dimana orang – orang di dalamnya bisa berkumpul agar
mereka menggunakan pikiranya dan membawa mereka pada kesucian.
Karenanya,
Anda melihat mereka mendatangi taman – taman, lembah – lembah, dan tempat –
tempat umum yang didalamnya orang – orang bisa berkumpul untuk mengerjakan apa
yang mereka inginkan. Dan kita melihat umat berkumpul dalam peristiwa –
peristiwa tertentu dengan gembira, bersemangat, dan penuh kesungguhan. Lalu apa
kewajiban kita pada mereka ?
Sesungguhnya
menyibukkan diri dengan menyalahkan, mencela, dan menolak tentang hukum
berkumpulnya mereka dan apa saja yang seperti itu, adalah suatu kesia – siaan,
bahkan suatu kebodohan. Karena, dengan demikian kita menyia-nyiakan simpanan
yang besar dan meluputkan suatu kesempatan yang baik dimana kita tidak
mendapatkannya kecuali dalam kesempatan – kesempatan seperti ini.
Oleh karena
itu, marilah kita manfaatkan pertemuan – pertemuan yang besar seperti ini.
Tidak usah kita menghiraukan, apalagi risau dengan tuduhan bid’ah, syirik, dan
sebagainya dengan alasan bahwa kegiatan – kegiatan semacam itu belum pernah ada
pada zaman Rasulullah saw, zaman shahabat maupun tabi’in. Masalahnya adalah apa
yang kita lakukan itu jelas – jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam,
dan karena itu maka kegiatan atau amalan
tersebut meskipun dikatakan bid’ah tetapi tidak termasuk bid’ah yang dilarang
oleh agama Islam
Sesungguhnya
bid’ah yang terlarang itu hanyalah bid’ah dalam keagamaan. Adapun dalam urusan
keduniaan tidak bid’ah yang terlarang; kita boleh mengadakan dan membuat
sesuatu walaupun belum ada atau belum dibuat pada masa Nabi Muhammad saw, pada
masa shahabat atau pada masa tabi’in, asalkan perbuatan itu baik dan tidak
bertentangan dengan hukum agama, dan
juga tidak dilarang oleh hukum agama.
Dapat
dicontohkan disini, seperti membangun masjid dari batu beton, mengumandangkan
azan memakai sound system atau pengesar
suara, merekam bacaan al – Qur’an dengan
caset atau CD, memakai sarung, baju koko, peci hitam, berdzikir memakai tasbih,
, mengendarai mobil atau sepeda motor,
berkomunikasi memakai telpon atau HP, internet dan sebagainya, kesemuanya itu
walaupun belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi kita diberi izin
membuatnya karena masalah ini adalah termasuk masalah keduniaan dan disesuaikan
pula dengan masalahat yang dibutuhkan
manusia yang hidup di zaman modern dan dia era globalisasi ini.
Namun dalam
masalah ibadah makhdlah, seperti shalat lima waktu diubah menjadi empat, puasa
Ramadlan dibuat menjadi empat puluh empat hari, zakat diubah menjadi tidak
wajib bagi orang yang mampu, ibadah haji dipindahkan ke tempat lain, mengakui
adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw, maka semuanya itu bid’ah karena jelas –
jelas dilarang oleh agama.
Dan
selanjutnya supaya kita tidak mudah goyah, resah gelisah atau susah terhadap
berbagai tuduhan itu, tentunya kita harus mengetahui dengan jelas apa
sesungguhnya hakikat bid’ah itu dalam pandangan agama Islam.
Menurut
Muhammad Idrus Ramli, “Sesungguhnya hadits yang menyatakan,” Semua bid’ah
itu sesat “ adalah redaksi general
yang maknanya terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah
(baik ) dan bid’ah sayyi’ah ( buruk ). Lebih rinci lagi, bid’ah itu
terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hokum Islam yang lima;
wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan
tercela.
Dalil – dalil
berikut ini akan dibai menjadi dua; dalil – dalil bid’ah hasanah pada
masa Rasulullah Saw dan dalil – dalil bid’ah hasanah sesudah Nabi saw
wafat
Bid’ah Hasanah Pada Masa
Rasulullah
1.
Hadits Sayyidina Muadz bin
Jabal r.a
عَنْ
عَبْدِِ الرَحْمٰنَ بْنِ أَبى لَيْلِِى قَالَ : ( كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ
فَاتَهُ شَيْئٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا َاتَهُ
ثُمَّ دَخَلَ قى الصَّلاَةِ ثُمَّ َجاءَ يَوْمًا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا
إِلَيْه فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمُ النَّبيُّ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( سَنّ لَكُمْ مُُعَاذً )) وَفِى رِوَايَةِ
سَيِّدِنَا مُعَاذُِ بْنُ جَبَلٍ (( إِنَّهُ قَدْ سَنّ لَكُمْ مُُعَاذٌ فَهَكَذَ
فَأَصْبَعُوْا ) رواه أَبوداود وأحمد وأبن أبى شيبة,وغيرهم ,وقد
صححه الحافظ إبن دقيق العيد والحافظ إبن حزم
“ Abi Abdurrahman bin Abi Laila berkata:” Pada masa
Rasulullah Saw bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat
shalat berjamaah, maka orang – orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat
yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal
itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka.
Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang – orang
mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat yang telah dilaksanakan, akan tetapi
Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah itu dan tidak menghiraukan
isyarat mereka, namun setelah Rasulullah saw selasai shalat, maka Mu’adz segera
mengerti rakaat yang tertingal itu. Ternyata setelah Rasulullah Saw selasai
shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan
kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab,” Mu’adz telah memulai yang cara yang
baik buat shalat kalian” . Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal , beliau Saw
bersabda,” Mu’adz telah memulai yang cara yang baik buat shalat kalian.
Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. ( H.R. Imam Ahmad ( 5 / 233
), Abu Dawud,Ibnu Abi Syaibah dan lain – lain. Hadist ini dinilai Shahih oleh
al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id dan al Hafizh Ibn Hazm al – Andalusi )
Hadits ini menunjukkan
bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainya, apabila
sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, nabi Saw tidak menegur Mu’adz
dan tidak pula berkata,” Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum
bertanya kepadaku ? “ bahkan beliau
membenarkanya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan kaedah berjamaah, yaitu
makmum harus mengikuti imam
2
Hadits Sayyidina Bilal
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ
أَنّ نَبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَ لٍ عِنْدَ صَلاَةِ
الْفَجْرِ: (( يَا
بِلاَلُ حَدِّثْنِى بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِى اْلإسْلاَمِ فَإِنِّى
سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِى الْجَنَّةِ )) قَال: مَاعَمِلْتُ
عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِى مِنْ أَنِّى لَمْ اَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِى سَاعَةٍ مِنْ
لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَاكُتِبَ لِى .وَفِى
رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَ لٍ (( بِمَ
سَبَقَتَنِى إِلَى الْجَنَّةِ ؟ قَال:
مَاأَذَنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَاأَصَابَنِى حَدَثٌ إِلاَّ
تَوَضّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ لِلّٰه ِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( بِهِمَا
)) أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ)) رواه البخارى ومسلم
“ Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bertanya
kepada Bilal ketika shalat fajar:” Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau
harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu
di surga ?” Ia menjawab:” Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah
aku belum pernah berwudhu’ baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkanya
dengan shalat sunat dua rakaat yang aku
tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau berkata kepada Bila: “ Dengan
apa kamu mendahuluiku ke surga ? “ Ia menjawab:” Aku belum pernah adzan kecuali
aku shalat sunat dua rakaat setelahnya, dan aku belum pernah berhadats, kecuali
aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat
karena Allah”. Nabi Saw bersabda:” Dengan kedua kebaikan itu, kamu meraih
derajat itu “ ( H.R.al Bukhari dan
Muslim )
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al Bari ( 334 ), hadits ini
memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena
Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi Saw pun
membenarkanya. Nabi saw belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua
rakaat setiap selasai berwudhu atau setiap selasai adzan, akan tetapi Bilal
melakukan atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada
Nabi Saw. Ternyata Nabi Saw membenarkanya, bahkan memberikan khabar gembira
tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selasai wudhu
menjadi sunnah bagi seluruh ummat.
3
Hadits Ibnu Abbas ra.
عَنْ سَيِّدِنَا ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ
قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى آخِرِ الَّيْلِ فَصَلّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَجَرَّنِى حَتَّى جَعَلَنِى حِذَاءَهُ فَلَمّا أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاَتهِ خَنِسْتُ فَصَلَّى رَسُوْلُ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفْتُ قَالَ: ( مَاَ شَأْنُكَ ؟
أَجْعَلُكَ حِذَاءِى فَنَخْنَسُ ) فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ أَوَ يَنْبَغِى
لإَِحَدِ أَنْ يُصَلِّيَ بِحِذَائِكَ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللّٰهِ الَّذِى أَعْطَاكَ اللٰهُ
؟ قَالَ: فَأَعْجَبَهُ فَدَعَالِى أَنْ
يَزِيْدَنِى اللّٰهُ عِلْمًا وَفِقْهًا.رواه أحمد والحاكم وقَال: حديث صحيح على شرط البخارى ومسلم
ووافقه الحافظ الذهبى وقال الحافظ الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 9/426 ) : رجاله رجال
الصحيح
“
Sayyidina Abbas r.a berkata:” Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu
aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku dan menarikku
harus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah Saw memulai shalatnya, aku mundur
ke belakang, lalu Rasulullah Saw menyelasaikan shalatnya. Setelah aku mau
pulang, beliau berkata:” Ada apa, aku tempatkan kamu harus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur
? “ Aku menjawab:” Wahai Rasulullah, tidak selayaknya bagi seseorang shalat
lurus di sebelahmu sedangkan engkau
Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah”. Ibnu Abbas berkata:”
Ternyata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakan agar Allah senantiasa
menambah ilmu dan pengertian terhadap agama” ( H.R.Ahmad)
Hadits ini membolehkan
berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibnu
Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah
Saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau Saw ternyata beliau tidak
menegurnya, bahkan merasa senang dan memberi hadiah do’a. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.
4
Hadits Ali Bin Abi Thalib
r.a
وَعَنْ
سَيِّدِنَا عَلِي رَضِيَ اللّٰه ُعَنْهُ قَالَ:
كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ
إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ يَجْهَرُ بقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةِ
وَ هَذِهِ السُّوْرَةِ فَذُكِرَ ذَلكَ لِلنَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ: (( لِمَ تُخَا فِتُ )) قِالَ : إِنِّى أَسْمَعُ
مِنْ أُنَاجِى وَقَالَ لِعُمَرَ: (( لِمَ تَجْهَزُ بِقِرَاءَتِكَ )) قِالَ :
أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَنَانَ وَفَالَ لِعَمَّارِ: (( لِمَ تَأْخُذُ
مِنْ هَذِهِ سُّوْرَةِ وَ هَذِهِ السُّوْرَةِ)) قَالَ: أَسْمَعُنِى أَخْلِطُ بِهِ
مَالَيْسَ مِنْهُ ؟ قَالَ (لاَ) ثُمَّ فَالَ: (( فَكُلُّهُ طَيِّبٌ )). رواه أحمد, وقال الحافظ
الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 9/426 ) : رجاله ثقات
“
Sayyidina Ali r.a berkta:” Abu Bakar bila membaca al –Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar
dengan suara keras. Dan Ammar apabila
membaca al-Qur’an mencampur surat ini dengan surat itu. Kemudian hal ini
dilaporkan kepada Nabi Saw, sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar:” Mengapa
kamu membaca dengan suara lirih ?” Ia menjawab:”Allah dapat mendengar suaraku
walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar:” Mengapa kamu membaca dengan suara
keras ? “ Umar menjawab:” Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk” Lalu
bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu membaca dengan surat ini dengan surat itu
?” Ammar menjawab: “ Apakah engkau pernah mendengarku mencampur sesuatu yang
bukan al-Qur’an ?” Beliau menjawab:” Tidak”.Lalu beliau bersabda:” Semuanya
baik” ( H.R.Ahmad )
Hadits ini
menunjukkan bolehnya membut bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga shahabat
itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing –
masing, sehingga sebagian shahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang
berbeda – beda , dan ternyata Rasulullah Saw membenarkan dan menilai semuanya
baik serta tiada yang buruk. Disini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya
sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah Saw pasti buruk atau keliru.
5
Hadits Amru bin Al Ash r.a
وَعَنْ
سَيِّدِنَا عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ لَمَّا بُعِثَ فِى
غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ قَالَ: إِحْتَمَلْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ
شَدِيْدَةِ الْبُرُوْدَةِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ
فَتَيَمَمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِى صَلاَةَ الصُّبْحِ قَلَمَّا قَدِمْنَا
عَلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ
فَقَالَ ( يَاعَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ ) فَقُلْتُ:
ذَكَرْتُ قَوْلَ اللّٰهِ تَعَالَى (وَلاَتَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنّ اللّٰهُ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ) فَتَيَمَمْتُ
وَ صَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَّسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًًا. رواه
أ بو داود وأحمد والدار قطنى والبيهقى وابن حبان
“ Amr
bin al –‘ Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Tsalasil berkata:”
Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku pun mandi, tapi takut
sakit. Akhirnya aku bertayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama shahabat
– shahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah Saw mereka melaporkan
kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya: “ Hai Amr , mengapa kamu
menjadi imam shalat bersama – sama shahabat – shahabatmu sedang kamu junub ? “
Aku menjawab:” Aku teringat firman Allah:” Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyangg
kepadamu.” ( Q.S.al-Nisa’: 29 ) Maka aku bertayamum dan shalat.” Lalu
Rasulullah Saw tersenyum dan tidak berkata apa – apa “ ( H.R.Abu Dawud, Ahmad,
dan Daruquthni.Hadits ini dinilai shahih
oleh al-Hafizh al-Dzahabi dan lain–lain )
Hadits ini menjadi dalil
bid’ah hasanah. Amru bin al_Ash melakukan tayamum karena kedinginan
berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi saw mengetahuinya, beliau tidak
menegurnya bahkan membenarkanya. Dengan demikian, tidak ada suatu perkara yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi
bid’ah hasanah apabila sesuai dengan syara’ seperti dalam hadits ini
6
Hadits Umar Bin Khathab r.ad’ah
وَعَنْ
سَيِّدِنَا عَمَرَ رَضِيَ اللّٰه ُعَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّاسُ فِى
الصَّلاَةِ فَقَالَ حِيْنَ وَصَلَ إلَى الصَّفِّ: اللّٰهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا
وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَان اللّٰهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلاًَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ: ( مَنْ صَاحِبُ الْكَلِمََاتِ ) قَالَ
الرَّجُلُ: أَنَا يَارَسُوْلَ اللّٰهِ,وَاللّٰهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلاَّ
الْخَيْرَ قَالَ: ( لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ. رواه مسلم
‘ Umar
r.a berkata; “ Seorang laki – laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan.
Setelah sampai di shaf,laki – laki itu berkata:” Allahu akbar kabiran
walhamdulillahi katsiran wa subhanallah bukratan wa ashila”. Setelah Nabi
selasai shalat, beliau bertanya:” Siapa yang mengucapkan kalimat tadi ? “ Laki
– laki itu menjawab:” Saya, ya Rasulullah. Dan saya hanya bermaksud baik dengan
kalimat itu”, Beliau bersabda:” Sungguh aku telah melihat pintu – pintu langit
terbuka menyambut kalimat itu”.Aku belum pernah meninggalkanya sejak
mendengarnya”
( H.R.Muslim )
7
Hadits Rifa’ah bin Rafi
وَعَنْ
سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّى
وَرَاءَ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمّا رَفَعَ رَأْسَهُ
مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ ( سَمِعَ اللّٰهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ) قَالَ رَجُلٌ
وَرَاءَهُ رَبَّنَاوَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا مُبَارَكًا فِيْهِ
فَلَمّاانْصَرَفَ قَالَ ( مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ ) قَالَ : أَنَا قَالَ ((
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَ أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا ) .رواه البخارى
“
Rifa’ah bin rafi’ r.a berkata:” Suatu ketika kami shalat berada di belakang
Nabi Saw .Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau bersabda: “ Samiallahu liman
hamidah”. Lalu seorang laki – laki di belakangnya berkata:” rabbana
walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakatan fih”. Setelah selasai
shalat, sebaliau bersabda,” Siapa yang membaca kalimat tadi ?” Laki – laki itu menjawab:”
Saya” Beliau bersabda:” Aku telah melihat 30 lebih malaikat berebutan menulis
pahalanya” (H.R.Bukhari )
Kedua shahabat diatas mengerjakan
perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi Saw, yaitu menambah bacaan
dzikir dalam iftitah dan dzikir
dalam i’tidal. Ternyata Nabi saw membenarkan penambahan mereka, bahkan
memberi khabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan
mereka sesuai dengan syara’, dimana di
dalam i’tidal dan iftitah itu
tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al- imam al- Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalany menempatkan dalam kitab Fath al Bari( 2/267 ), bahwa hadits
ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur
( datang dari Nabi Saw ) dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir
selama tidak mengganggu orang lain.
B.
Bid’ah Hasanah Stelah
Rasulullah saw Wafat
1
Penghimpunan Al Qur’an
menjadi Satu Mushaf
جَاءَ
سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ إِلَى سَيِّدِنَا أَبِى
بَكْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يَقُوْلُ لَهُ: يَاخَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِى الْقُرَّا
ءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْاٰنَ فى مُصْحَفِ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ :كَيْفَ
نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ:إِنَّهُ وَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ
حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إلَى زَيْدبْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ
فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُولُ : كَيْفَ نَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ
يَفْعَلْهُ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُوْلاَنِ
لَهُ: إِنَّهُ وَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ صَدْرَهُ
كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا.رواه البخارى
“
Sayyidina Umar r.a mendatangi khalifah Abu Bakar r.a dan berkata:” Wahai
Khalifah Rasulullah Saw,saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah
mengorbankan beberapa penghafal al –Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun
al-Qur’an menjadi satu Mushhaf ? “ Khalifah menjawab:” Bagaimana kita akan
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ? “ Umar r.a
berkata:” Demi Allah, ini baik” Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya
Abu Bakar menerima usulan Umar . Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit r.a,
dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid.Ia menjawab:” Bagaimana
kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ?
“ Keduanya berkata:” Demi Allah, ini baik” Keduanya terus meyakinkan Zaid,
hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada
Abu Bakar dan Umar dalam rencana ini” ( H.R.al- Bukhari )
Umar mengusulkan penghimpunan
al- Qur’an dalam satu Mushhaf, Abu Bakar meragukan, bahwa hal ini belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tetapi
Umar menyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong
bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-qur’an menjadi satu mushhaf
hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar al –Qur’an tetap terpelihara.
Oleh karena itu menghimpun al-Qur’an ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah.
2
Shalat Tarawih
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ الْقَارِ ئ أَنَّهُ قَالَ:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ
رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمََضَانَ
اِلَى الْمَسْجِدِ فَإِ ذَا النَّاسُ اَوْزَعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ وَ يُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّى أَرَى لَوْ
جَمَعْتُ هٰؤُ لاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ
عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ أُبَيِّ بْنِ كَعَبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُ خْرَى وَ النَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ
قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِى نَامُوْا
عَنْهَا أَفْضَلُ منَ الَّتِى يَقُوْمُوْنَ يُرِبْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ
يَفُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ . رواه البخارى
“ Dari Abdurrahman bin Abdul Qari, beliau berkata:” Saya
keluar bersama – sama Sayyidina Umar bin Khathab ( Khalifah Rasyidah) pada
suatu malam bulan Ramadhan ke masjid Madinah. Di dapati dalam masjid itu orang
– orang sembahyang tarawih bercerai – berai. Ada yang sembahyang sendiri –
sendiri, dan ada yang sembahyang dengan beberapa orang di belakangnya. Maka
Sayyidina Umar berkata:” Saya berpendapat akan mempersatukan orang – orang ini.
Kalau disatukan dengan seorang Imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan
shalat Rasulullah “. Maka beliau satukan orang – orang itu sembahyang di belakang
seorang Imam, namanya Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada suatu malam kami datang
lagi ke masjid, lalu kami melihat orang sembahyang berkaum – kaum di
belakang seorang Imam. Sayyidina Umar
berkata:” Ini adalah bid’ah yang baik.Tetapi menunaikan shalat di akhir malam
adalah lebih baik daripada awal malam. Pada waktu itu, orang – orang menunaikan
tarawih di awal malam” ( H.R.al-Bukhari
)
Rasulullah Saw tidak pernah
menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukanya beberapa
malam, kemudian meninggalkanya. Beliau tidak pernah pula menunaikannya secara
rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukanya. Demikian
pula pada masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar r.a mengumpulkan mereka
untuk shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk
melakukanya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah
hasanah, karena itu beliau mengatakan” Sebaik – baik bid’ah adalah ini”
.Pada hakikatnya, apa yang beliau lakukan termasuk sunnah, karena Rasulullah saw telah bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( فَعَلَيْكُمْ بِسُنتى
وَسُنَّةِ 0الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِييْنَ ))
“ Rasulullah
Saw bersabda:’ Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
memperoleh petunjuk”
3
Adzan Jum’at
وَعَنِ
السّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ :
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ اضوَّلَهُ إِذَا جَلَسَ اْلأِمَامُ عَلَى
الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِى بَكْرٍ وَغُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا
فَلَمَّا َكانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ وَكَثُرَ
الناسُ زَادَ النِّدَاءَ الثّالِثَ عَلَىَ
الزَّوْرَاء وَهِيَ دَارٌ فِى سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ.رواه البخارى
“ Al -
Saib bin Yazid r.a berkata:” Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk diatas mimbar. Kemudian pada masa
Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga diatas Zaura’,yaitu nama tempat di Pasar Madinah” ( H.R.al –Bukhari )
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan
Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila
imam duduk diatas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi
penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke
mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura; tempat di
Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at,
sebelum imam hadir di mimbar. Semua shahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya.
Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan
sunnah, karena termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuiti
berdasarkan hadits sebelumnya.
4
Shalat Sunnah Sebelum
Shalat Id dan Sesudahnya
عَنِ
الْوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعِ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
عَلِيِّ بْنِ أَبِى طَالِبِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فِى يَوْمِ
عِيْدٍ فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ
أَصْحَابِهِ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَاتَقُوْلُ فى
الصَّلاَة يَوْمِ
الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاَة وَ
بَعْدَهَا ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ فَسَأَلُوْهُ
كَمَا سَأَلُوْهُ –الَّذِيْنَ كَانُوْا قَبْلَهُمْ- فَلَمَّا انْتَهَيْناَ إِلَى الصَّلاَة
وَصَلَّى بالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ
نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ ؟
قَالَ: فَمَا عَسَيْتُ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُوْنِى عَنِ السُّنَّةِ ؟ إنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِِِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ
وَ مَنْ شَاءَ تَرَكَ أَتَرَوْنِى أَمْنَعُ قَوْمًا يُصَلُّوْنَ
فَأَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ
عَبْدًا إِذَا صَلَّى.رواه
البزر, كماذكره الحافظ الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 2 / 437 9
“
Al-Walid bin Sari’ berkata: “ Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul
Mu’minin Ali bin Abi Thlib r.a. lalu
beberapa orang dari shahabat beliau menanyakanya tentang melakukan shalat sunat
sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lau datang
beberapa orang menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak
menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan
bertakbir tujuh kali dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah
turun dari mimbar, menaiki kendaraanya. Kemudian mereka bertanya: “ Hai Amirul
Mukminin, mereka melakukan shalat
sunat sesudah shalat Id “ Beliau
menjawab:” Apa yang akan kulakukan ? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah,
sesungguhnya Nabi Saw belum pernah melalukan shalat sebelum shalat Id dan
sesudahnya. Tetapi siapa yang yang melakukan, lakukanlah, dan siapa yang mau
meninggalkan,tinggalkanlah.aku tidak mau menghalangi orang yang mau shalat,
agar tidak termasuk “ orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan
shalat”. ( H.R.al _Bazar dalam Musnad) ( Lihat: al-Hafizh al-Haitasami,Majmu’
al-zawaid ( 2/ 438 )
Rasulullah saw tidak pernah
melakukan shalat sunnah sebelum shalat’
Id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukanya pada masa Amirul
Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan tidak
menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah,
siapa saja boleh melakukanya. Di sini,
sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu dari Khulafaur Rasyidin, memahami
bahwa sesuatu yan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw belum tentu salah
dan tercela.
5.
Hadits Talbiyah
Abdullah bin
Umar r.a meriwayatkan bahwa do’a talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah
saw ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ,اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, َلبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ,اِنَّ الْحَمْدَ
وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
“ Ya Allah,
saya penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya puji dan
ni’mat bagi-Mu, dan Engkaulah yang menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu
bagi-Mu”
Tetapi Abdullah bin
Umar r.a sendiri menambah do’a talbiyyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ
بيَدِكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Hadits tentang do’a talbiyyah Nabi
saw dan tambahan Ibn Umar ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari ( 2 / 170 ), Muslim ( 1184 ), Abu Dawud ( 1812 )
dan lain – lain. Menurut Ibn Umar,Sayyidina Umar r.a juga melakukan tambahan
dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim ( 1184 ) , bahkan
dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf,Sayyidina
Umar menambah bacaan talbiyah Nabi Saw dengan kalimat;
لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَالنِّعْمَاءِ وَالْفضْلِ الْحَسَنِ
Dalam riwayat Abu Dawud ( 1813 )
dengan sanad yang shahih, Ahmad ( 3 / 320 ) dan Ibnu Khuzaimah ( 2626 )
sebagian shahabat menambah bacaan talbiyah-nya dengan kalimat;
ذَالْمَعَارِجِ
Al – Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib
al- ‘ Aliyahَ
meriwayatkan bahwa, Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyah- nya
menambah kalimat:
َلبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّا
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath
al-Bari, hadits – hadits talbiyah yang beragam dari para shahabat,
menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahud, talbiyah dan
lain – lainya terhadap dzikir yang ma’tsur ( datang dari Nabi saw).
Karena Nabi Saw sendiri telah mendengar tambahan para shahabat dalam talbiyah,
dan membiarkanya. Sebagaimana tokoh – tokoh shahabat melakukan tambahan pula,
seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali,Anas dan lain – lain
ra.Kebolehan menambah dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur ini
adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ ulama.
6.
Resaksi Shalawat Nabi
Syaikh Ibn
Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, dan salah satu ulama
otoritatif di kalangan kaum Wahhabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat
Nabi Saw yang disusun oleh para shahabat dan ulama Salaf, dalam kitabnya Jala’
al Afham fi al- Shalat wa al- Salam ‘ala Khair al- Anam Saw. Antara lain
shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
اَللَّهُمَّ
اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ
وَاِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ اِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ ,
الَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلاَوَّلُوْنَ
وَاْلاَخِرُوْنَ.رواه ابن ماجه.
”
Ya Alloh jadikanlah segala shalawat, rahmat, dan berkah-Mu kepada Sayyid para
rasul, pemimpin orang – orang yang bertaqwa, pamungkas para Nabi, yaitu
Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang
membawa rahmat. Ya Alloh anugerahkanlah beliau maqam terpuji yang menjadi
harapan orang – orang terdahulu dan orang – orang yang kemudian” ( H.R.Ibnu Majah )
Syaikh Ibn
Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat sayyidina Abbdullah bin Abbbas r.a berikut
ini;
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ
الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤَلَهُ فِى اْلاَخِرَةِ وَاْلاُوْلَى كَمَا اَتَيْتَ اِبْرَاهَيْمَ
وَمُوْسَى ( الشيخ ابن القيم,
جلاء الافهام (ص/ 76
)
“
Ibn Abas r.a apabila membaca shalawat kepada Nabi SAW beliau berkata,” Ya Alloh
kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur,
dan berilah permohonanya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan
permohonan Ibrahim dan Musa”
Syaikh Ibn
Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat yang disusun oleh al-Imam ‘Alqamah r.a,
seorang tabi’in sebagai berikut:
صَلّى
اللّٰهُ وَمَلاَئِكَتُه عَلَى مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيّ وَرَحْمَةُ اللّٰه وَبَرَكَاتُهُ( الشيخ ابن القيم, جلاء الافهام (ص/ 75 )
Syaikh Ibn
Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat yang disusun oleh al-Imam ٍٍSyafi’i r.a, seorang tabi’in sebagai berikut:
صَلّى
اللّٰهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَاذَكَرَهُ
الذَاكِروْنَ وَعَدَدَ مَاغَفَلَ عَنْ ذكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ ( الشيخ ابن القيم, جلاء الافهام (ص/ 230 )
Demikianlah beberapa redaksi
shalawat Nabi Saw yang disusun oleh para shahabat dan ulama salaf yang
diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’al Afham.
Hal tersebut yang menjadi inspirasi bagi para ulama untuk menyusun beragam
redaksi shalawat, sehingga lahirlah shalawat Nariyah, Thibbil Qulub, al
Fatih,al-Munjiyat dan lain – lain.
C.Bid’ah Hasanah Setelah
Generasi Shahabat
1. Tahlilan
Di
kalangan penganut faham ahlussunnah waljamaah terdapat satu kegiatan yang
sangat menonjol, yaitu tahlilan. Dalam
acara apa saja, baik selamatan, sedekahan, khitanan,ada kegiatan tahlilan.
Orang – orang yang bukan penganut ajaran ahlussunnah sampai bosan melihat dan
mendengarnya, lagi – lagi ada tahlilan. Mereka sampai timbul perasaan bosan
mendengarnya. Apakah amalan seperti ini ada dasarnya baik dari al-Qur’an
ataupun as-sunnah ? Ternyata bila ditelusuri secara mendalam,ternyata memang
ada dasarnya.
Salah
satunya adalah sabda Rasulullah Saw;
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ
إِيْمَانَنَا قَال : أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لاَإِلٰهَ إِ لاَ اللّٰهُ .رواه أحمد
“ Dari
Abi Hurairah r.a berkata,Rasulullah Saw bersabda:” Perbaruilah iman
kalian’.Para shahabat bertanya,” bagaimana kami memperbarui iman kami ? “ Beliau menjawab,” perbanyaklah mengucapkan لاَإِلٰهَ إِ لاَ
اللّٰهُ ( H.R.Ahmad )
2.
Dzikir Berjamaah
Selain
itu, masih ada lagi kegiatan lain
yang cukup menonjol, yaitu kegiatan dzikir berjamaah, baik dilaksanakan sesudah
shalat berjamaah ataupun kegiatan keagamaan lainya. Dasar pokok dari amalan ini
adalah sabda Rasulullah saw:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَأَبِى
سَعِيْدٍ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّ حْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
وَذَكَرَاللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ .رواه مسلم
“ Abu
Hurairah dan Abi Sa’id r.a berkata,” Rasulullah SAW bersabda,” Tidaklah
ada balasan bagi suatu kaum berkumpul berdzikir kepada Alloh melainkan dikepung
oleh malaikat, dilingkupi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan dan
diingat Alloh pada orang – orang yang ada disisnya “ ( H.R. Muslim )
3
Membaca Istighfar
Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui” ( Q.
S. Ali Imran (3):135 )
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
dan menganiaya dirinya, Kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
“( Q.
S. An Nisa’ (4):110 )
مَنْ اَكْثَرَ مِنَ اْلاِسْتِغْفَارِ جَعَلَ اللّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ
فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضَيِّقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ غَيْرُ لاَ يْحْتَسِبْ
“Barangsiapa yang memperbanyak istighfar, maka Allah
akan menjadikan baginya dari setiap kesusahan menjadi kegembiraan, dari setiap
kesempitan menjadi kelapangan dan diberi rizqi tanpa disangka-sangka” ( H.R.
Ahmad dan Hakim ).
4
Barzanji,Dibaan,Burdahan
dan Manaqiban
Terdapat pula
kegiatan lainya di tengah – tengah masyarakat yang dilaksanakan setiap selasai
shalat maghrib, atau shalat isya, atau kapan saja, yaitu pembacaan barzanji,
Dibaan,Burdahan, Manaqiban. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum muslimin di
seluruh Indonesia, dan beberapada negera lain berdasarkan hadits Rasulullah saw
yang tertera dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:
وَقَدْ
وَرَدَ فِى اْلأَثَرِ عَنْ سَيِّدِ الْبَشَرِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِنًا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ
وَمَنْ قَرَأَ تَارِيْخَه ُ فَكَأَنَّمَا زَارَهُ وَمَنْ زَارَهُ فَقَدش
إسْتَوْجَبَ رِضْوَانَ الله فِى حُرُوْرِ الْجَنَّةِ وض حَقَّ عَلَى الْمَرْءِ
أَنْ يُكَرِّمَ زَائِرَهُ
“ Terdapat sebuah atsar dari
gustinya manusia saw, bahwasanya beliau bersabda,” Barangsiapa yang membuat (
menulis ) biaografinya seorang mukmin, maka sepertinya ia menghidupkanya
kembali. Dan barangsiapa membaca sejarahnya. Maka seolah – olah ia
mengunjunginya, dan barangsiapa
mengunjunginya, maka ia berhak mendapatkan ridha Allah dalam surga. Dan sudah
seharusnya bagi seseorang memuliakan orang yang menziarahinya”
5
Peringatan Maulid Nabi
Kegiatan tahunan yang tidak
pernah absent di tengah – tengah masyarakat adalah peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw. Pelaksanaan kegiatan ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لَمَّا
قَدِمَ النّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَجَدَ
الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ عَاشُوْرَاءَ فَسُئِلُوْا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوْا هَذَا
الْيَوْمُ الَذى أَظْفَرَ اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَبَنِى إِسْرَائِيْلَ عَلَى
فرءعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ ثُمّ أَمَرَ بِصَوْمهِ.رواه الشيخان
“ Ketika Nabi Saw tiba di Madinah, beliau mendapati orang –
orang Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura’. Mereka ditanya tentang hal itu,
lalu mereka menjawab,” di hari ini,Allah telah memberikan kemenangan kepada
Musa dan Baani Israil atas Fir’aun. Dan kami berpuasa untuk mengagungkanya”
Lalu Rasulullah saw bersabda,” Kami lebih berhak dengan Musa dibandingkan kalian”.
Lalu belia memerintahkan berpuasa pada
hari itu”
( H.R.Bukhari – Muslim )
6
Istighatsah
“ (ingatlah), ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu:
"Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut"( Q.S.al Anfal : 9 )
Sedangkan dalam hadits – hadits Rasululloh SAW
disebutkan:
عَنْ ا بْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ لِلّهِ مَلاَئِكَةً فِى
اْلاَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ
مَا بَسْفُطُ مِنْ وَرَقِ الْشَّجَرَةِ
فَاِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرَجَةً بِاَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ
أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللّٰهُ .رواه البزار
“ Ibnu Abbas r.a , bahwasnnya Rasululloh Saw
bersabda:” Sesungguhnya Alloh memiliki para malaikat di bumi selain malaikat
hafazhah yang menulis daun – daun yang bergururan, maka jika kalian ditimpa
kesulitab di suatu padang
maka hendaklah
mengatakan: “ Tolonglah aku wahai para hamba Alloh”
Hadits ini diriwayatkan oleh al- Bazar
( Kasyf al- tsar, 4 / 33 – 34 ) , Al- Hafizh al- Haitsami dalam Majma’ al
Zawaid ( 10 / 132 ) berkata: Para perawi hadits ini dapat percaya.
Hadits ini menunjukkan dibolehkanya
meminta tolong dan beristighatsah dengan selain Alloh , yaitu orang – orang
shaleh meskipun tidak dihadapan mereka dengan redaksi nida’ ( memanggil ).
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ
قَالَ:جَاءَ رَجُلٌ اَعْرَابِيٌّ اِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَيْنَاكَ وَمَا لَنَا بَعِيْرٌ يَئِطُ
وَصَبِيٌّ يَغِطُّ ثُمَّ أَنْشَدَ شِعْرًا يَقُولُ فِيْهِ: وَلَيْسَ لَنَا اِلاَّ
اِلَيْكَ فِرَارُنَا * وَأَيْنَ فِرَارُ النَّاسِ اِلاَّ اِلَى الرُّسُلِ.فَقَامَ
يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ:اَللَّهُمَّ اسْقِنَا
غَيْثًا.روَاهُ البيهقى
“ Anas bin Malik r.a berkata,” Telah
datang seorang laki – laki kepada Nabi SAW, lalu ia berkata: “ Wahai
Rasululloh, kami datang kepdamu karena tidak ada lagi orang yang meringis,
tiada lagi bayi yang mendekur, kemudian ia membacakan sebuah syair ( yang dulu
digubah oleh Abu Thalib,ayah Sayyidina Ali bin Abi Thalib) ” Kecuali kepadamu
tak kemana kami akan pergi, kemnakah manusia minta bantuan kalau tidak kepada
Rasul Ilahi ? ” Mendengar permintaan itu Nabi lantas berdiri menrik selendang
beliau dan lantas naik mimbar, lalu berdo’a,” Ya Alloh, turunkanlah hujan” ( H.R.Baihaqi )
Hadits ini
mengandung pengertian bahwa Rasululloh SAW dengan jelas mengizinkan kepada lelaki
Baduwi itu untuk berdo’a dengan istighatsah kepada diri Nabi. Dalam hadits ini Nabi sama sekali tidak melarang
beristighatsah kepada lelaki Baduwi itu.
Seandainya istighatsah dilarang tentu Nabi akan mengtakan, “ Mengapa
kamu merengek – rengek dan melapor kepadaku, dan tidak langsung berdo’a kepada
Alloh”, dan tidak pula berkata,” Kamu telah syirik karena telah
melaporkan permintaanmu kepadaku, bukan kepada Alloh” Bahkan pada kenyataanya
do’a Rasululloh SAW pun dikabulkan dengan berhasil turunya hujan sebagaimana
yang diminta umatnya.
Sebenarnya
masih banyak amaliah ahlussunnah wal jamaah yang sampai saat ini masih
dilestarikan oleh warga masyarakat muslim, khususnya di Indonesia dan Negara –
Negara lain yang sefaham. Namun, mengingat keterbatasan halaman dalam buku ini,
kiranya dicukupkan sampai disini saja. Untuk lebih jelasnya, silakan baca buku
yang membahas tentang dasar – dasar amaliah ahlussunnah waljamaah.