SELAMATAN DAN TAHLILAN
1. Dasar Pelaksanaan Tahlilan
Setelah mengeluarkan buku “ Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik “ kini H.Mahrus Ali mengeluarkan buku yang tidak kalah sengitnya dengan buku pertama. Buku kedua ini berjudul “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsah Dan Ziarah Para Wali”.
Dalam buku ini, H.Mahrus Ali kembali membelejeti amaliyah kaum muslimin, khususnya warga Nahdliyin. Salah satu amaliyah umat Islam yang digugat adalah Tahlilan. Tahlilan ini dituduh oleh H.Mahrus Ali sebagai amalan bid’ah yang berlumuran syirik dan sama dengan budaya Hindu.
Kata H.Mahrus Ali ,” Sudah banyak pihak yang menyatakan bahwa tahlilan adalah tidak boleh. Mungkin pernah ada celetukan, “Tahlilan kok dilarang, berarti melarang perintah Rasulullah SAW. Bukankah beliau mendorong umatnya untuk mengucapkan tahlil ? “ Sekilas kalimat ini benar, tetapi bukankah tahlilan itu tidak sama dengan tahlil ? Tahlil adalah mengucapkan kalimat La ilaaha illallaah. Sementara tahlilan adalah melakukan tahlil khusus untuk acara tertentu, dengan cara tertentu secara berjamaah kemudian pahalanya dihdiahkan kepada orang tertentu. Apakah Rasulullah SAW pernah memerintahkan shahabatnya untuk melakukan tahlilan ? Pernakah beliau melakukan tahlilan ? Paling tidak pernahkah beliau menyetujui dan membiarkan shahabatnya melakukan tahlilan ? Prosesi tahlilan tidak dikenal di zaman beliau. Padahal kalau mau beliau mampu melakukanya . kalau naik pesawat terbang memang belum ada teknologinya waktu itu, tetapi sekedar membentuk grup baca tahlilan kemudian menghadiahkan pahalanya tidak dibutuhkan teknologi yang rumit . Tetapi mengapa Rasulullah SAW dan para shahabatnya tidak mau melakukanya ? Karena memang tidak disyariatkan dalam ajaran Islam. Mengirimkan pahala dzikir kepada mayat tidak dijumpai tuntunanya. Bisa dikatakan sebagai perkara baru.
Rasulullah SAW bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَهٌ
“ Amma ba’du ! Sesungguhnya perkataan terbaik adalah kitabullah, sebaik – baik prilaku adalah prilaku Muhammad. Perkara terjelek adalah perkara yang baru dan tiap ajaran baru adalah bid’ah dan tiap bida’ah adalah sesat”
Para shahabat tidak pernah mengadakan tahlilan baik untuk hari pertama, kedua, ketiga, hingga ketujuh dari kematian seseorang. Sampai sekarang di daerah kelahiran Rasulullah SAW yang kini masuk dalam wilayah Kerajaan Saudi, juga tidak ada tahlilan. Bahkan kalangan salafiyin yang ada di Indonesia juga tidak mengadakanya.
Boleh saja H.Mahrus Ali mengatakan, bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah mengadakan tahlilan baik untuk hari pertama, kedua, ketiga, hingga ketujuh dari kematian seseorang. Atau mengatakan bahwa tahlilan itu bid’ah, syirik, kufur dan sejenisnya. Hanya saja kami pun perlu bukti mana dalil yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah SAW melarang tahlilan. Hendaknya H.Mahrus Ali menyadari bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melarang umatnya untuk berdzikir secara berjamaah, bahkan malah menganjurkanya. Hal ini dipertegas dengan sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَأَبِى سَعِيْدٍ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّ حْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَاللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ .رواه مسلم
“ Abu Hurairah dan Abi Sa’id r.a berkata,” Rasulullah SAW bersabda,” Tidaklah ada balasan bagi suatu kaum berkumpul berdzikir kepada Alloh melainkan dikepung oleh malaikat, dilingkupi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan dan diingat Alloh pada orang – orang yang ada disisnya “ ( H.R. Muslim )
Nabi Muhammad SAW dalam hadits ini menyebut “kaum berkumpul berdzikir kepada Alloh “ yang berarti berdzikir secara berjamaah. Dan tahlilan itu sendiri adalah bentuk dzikir kepada Alloh secara berjamaah yang pahalanya diniatkan dan dimnitakan kepada Alloh agar dihadiahkan kepada mayit. Mengapa minta pahala itu dihadiahkan kepada mayit ? Karena orang – orang yang berdzikir itu yakin bahwa Alloh memberi pahala kepada orang yang berdzikir kepada-Nya, mereka juga yakin bahwa Alloh Yang Maha Pemurah senantiasa memberikan apa saja yang diminta hamba-Nya. Lalu apa salahnya kalau orang yang bertahlil itu meminta pada-Nya agar pahala itu dihadiahkan kepada orang lain,khususnya orang yang sudah meninggal. Adakah seeorang yang berhak melarang orang lain meminta kepada Alloh dengan mengatakan tahlil itu bid’ah, hadiah pahala itu tidak sampai dan sebagainya ? .
Kalau H.Mahrus Ali berani mengatakan bahwa tahlil itu bid’ah, dengan alasan Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah mengadakan tahlilan dengan prosesi yang kita kenal sekarang bisa kita maklumi. Namun sesungguhnya nuansa tahlil itu sudah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits diatas. Kalaupun H.Mahrus Ali tetap mencap sebagai bid’ah boleh – boleh saja, asal tidak dikatakan sesat, karena kami sebagai penganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah meyakini bahwa bid’ah yang berbentuk tahlil adalah bid’ah hasanah.
Beda kalau H.Mahrus Ali mengatakan bahwa tahlil itu amalan tertolak dan tidk akan diberi pahala oleh Alloh. Kalau H.Mahrus Ali mengatakan bahwa pahala tahlil itu tidak akan diterima Alloh karena alasan bid’ah, lain lagi urusanya. Seandainya seperti itu maksudnya, berarti secara tidak langsung sudah mendahului kehendak Alloh, karena Alloh berkuas melakukan apa saja yang dikehendaki. Bisa juga sikap semacam itu sudah mengintervensi hak Alloh. Sikap seperti sangat bertentangan dengan aqidah Islam dan termasuk su-ul adab, bahkan babonane su-ul adab.
Selain menyatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah karena prosesi tahlilan tidak dikenal di zaman Rasulullah dan para shahabatnya. H. Mahrus Ali juga mengatakan bahwa tahlilan itu mengikuti budaya kumpulan masyarakat Hindu. H. Mahrus Ali berkata,” Jadi tahlilan itu diadakan untuk mengikuti budaya kumpulan masyarakat Hindu setelah ada kematian, hanya saja diisi dengan tahlilan. Kemudian dikenal secara luas dengan tahlilan, asal acaranya menjadi tenggelam padahal inilah inti dari acara tersebut yakni melakukan peringatan atas kematian seseorang, Hal ini bisa dikatakan termasuk menyerupai dengan non-Muslim. Kita tidak diperkenankan melakukan hal semacam itu .Dalam suatu hadits dijelaskan:
مَنْ تَشَبَّهََ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
H. Mahrus Ali menambahkan,” Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhiisme bila seorang meninggal dunia maka ruhnya akan dating kembali ke rumah pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya. Jika dlam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul – kumpul dan mengadakan upacara – upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghoib, maka ruh orang mati itu akan marah dan masuk ( sumerup) kedalam jasad orang yang masih hidup dalam keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan – kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera – mantera atau sekedar kumpul – kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke- 100, satu tahun, dua tahun dan malam ke- 1000.
Setelah orang – orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara – upacara tersebut. Sebagai langkah awwal para dai terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk pauk untuk sedekah. Mantera – matera diganti dengan dzikir, do’a dn bacaan – bacaan al-Qur’an. Upacara semacam ini kemudian dinamakan tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat.
Untuk memperkuat pendapatnya, bahwa tahlil adalah budaya Hindu, H. Mahrus Ali memberikan alasan dengan bukti ungkapan syukur seorang pendeta. Dia menulis,” Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur seorang pendeta dlam sebuah acara berikut ini:
“ Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang Jawa Timur, diselenggarakan konggres Asia para penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama yang mereka yakni peringatan kematian pada hari 1,2,3,4,5,6,7,40,100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblake dlam istilah Jawa, untuk kemashlahatan manusia yang terbukti dengan diamalkanya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam”
H. Mahrus Ali juga mengatakan bahwa kaum Syiah juga hobi tahlilan. Dia mengisahkan,” Senin, 04 April 2005, Jakarta: Lebih dari 5.000 umat Islam tampak menyemut memenuhi ruangan dan pelataran Hussainiyah al-Huda, Pusat Kebudayaan Islam ( ICC al Huda ) di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Ahad pagi hingga sore ( ¾ ). Hari itu mereka memperingati acara 40 hari Kesyahidan Imam Hussain.
Peringatan tersebut merupakan rangkaian acara dari peristiwa Assyura 10 Muharram. Yaitu saat cucu Nabi Muhammad SAW, Hussain bin Ali bin Abi Thalib keluarga dan pengikutnya dibantai di Padang Karbala, Irak. Di Irak acara peringatan itu dirusak dengan meledaknya bom di tempat – tempat dn masjid prosesi itu diadakan. Namun di Indonesia yang aman dan damai diisi dengan pembacaan tahlil, maqtral ( riwayat) do’a dan ceramah”
Mengtakan bahwa tahlilan adalah tradisi agama Hindu, atau menyerupai ritual agama Hindu sangat tidak berdasar. Tahlil tidak sama ritual agama Hindu dalam segala – galanya. Karena tahlil adalah mendo’akan orang yang sudah meninggal, sedang ritual agama Hindu bukan mendo’akan tapi memuja dewa dan roh – roh para leluhur yang sudah meninggal agar tidak murka. Dalam Tahlilan tidak ada ajaran memuja arwah neneka moyang agar tidak marah dan murkan, tetapi mendo’akan agar arwah mereka mendapat rahmat ,ampunah dan ridla Alloh. Dan mendo’akan orang laing , termasuk yang sudah meninggal adalah perintah agama.
Mengenai masalah sebab – sebab timbulnya acara tahlilan yang kata H. Mahrus Ali mula- mula dari ritual agama Hindu tidak seluruhnya benar. Sebab hal itu hanya merupakan sebab- sebab yang melatar bekanginya saja. Tanpa adanya tradisi dan ritual agama Hindu, tahlil bisa tumbuh dan berkembang sendiri dalam agama Islam sebagai pelaksanaan dari sunnah Rasulullah SAW yang menganjurkan dzikir kepada Alloh secara berjamaah. Dan apa yang diungkapkan oleh H. Mahrus Ali tentang asal – usul tahlil itu sesungguhnya hanya merupakan strategi dakwah para Walisongo saja dalam menghadapi masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme dan animisme, Hinduisme dan Budhisme yang sudah demikian kuat mengakar di tengah – tengah masyarakat.
Menghadapi masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme dan animisme, Hinduisme dan Budhisme yang sudah demikian kuat, ditambah lagi mereka , khususnya masyarakat juga mempunyai adat – adat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan sebagainya, para walisongo harus menerapkan strategi dakwah yang dapat menarik simpati, bukan malah menimbulkan antipati, apalagi sampai menimbulkan konfrontasi.
Para walisongo, menurut A.R. Kafanjani, sangat memperhatikan upacra – upacara ritual itu, dan serusaha sebaik – baiknya untuk merubah atau mengarahkanya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh para wali, terutama oleh Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga.
Salah satu contoh adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam adalah, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan upacara selamatan yang disebut mitoni sembari meminta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna , jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tetapi niatnya bukan sekadar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekh kepada penduduk setempat dan boleh dibawa pulang. Sedang permintaanya langsung kepada Alloh dengan harapan anaknya lahir laki – laki akan berwjah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam, ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering – sering membaca Surat Yusuf dan Surat Maryam dalam Al Qur'an.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbgai jenis makanan, kemudian diikrar hajatkan diikrar oleh sang dukun atau tetua masyarakat, dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat – tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah
Tradisi Selamatan yang sudah dibina oleh Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dengan diisi unsur – unsur keislaman ini disebut oleh masyarakat Jawa dengan sebutan Selamatan atau Kondangan atau Kenduri. Tradisi ini merupakan tradisi orang Jawa yang ada sebelum Islam datang.
Para wali sangat memperhatikan masalah tradisi ini dan senantiasa berusaha untuk mengubah dan mengarahkanya pada aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam menghadapi persoalan yang menyangkut aqidah ini, para wali bersikap sangat hati – hati dan sangat bijaksana, terutama Sunan Amnpel, Sunan Giri dan Sunan Drajat. Hal ini sempat menimbulkan perbedaan pendapat diantara para wali. Oleh Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat, yang dikenl dengan sebutan Islam Putihan berpendapat, bahwa dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Sedangkan menurur aliran Islam Abangan yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga dan didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus,Sunan Gunungjati dan Sunan Muria,berpendapat, bahwa adat istiadat yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas – jelas menjurus kepada kemusyrikan kita tinggal sama sekali.
Perbedaan pendapat itu dikemukakan dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak, sebagaimana dituturkan oleh Sholichin Salam:
" Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel:
" Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah ?"
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, " Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab menurut pelajaran agama Budha itu ada persamaanya dengan ajaran agama Islam, yaitu orang kaya harus membantu fakir miskin. Adapun tentang kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang Islam yang menyempurnakanya"
Dalam versi lain disebutkan , bahwa dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel sebagai berikut, " Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas – jelas menjurus kepada kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang Islam yang menyempurnakanya"
Tujuan dari Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar ke seluruh penduduk tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat:
1. Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidk merubah adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam penyebaran Islam.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.
3. Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan adat dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.
4. Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung tau terjadinya kekerasan dalam penyiaran agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya.
5. Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan apa sih ajaran agama islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.
Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui wakaupun ada perbedaan pendapat dalm cara mengajarkan Islam, tetapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan, kedua belah pihak sama – sama berfaham Ahlussunnah Wal Jamaah dan bermazhab Syafi'i.
Kedua belah pihak sama – sama menydari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau syirik. Sedang pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam, bila menjadi pemeluk agama Islam tinggal menyempurnakan imanya saja
Sikap para wali itu sesuai dengan faham yang dianutnya, yaitu faham ahlussunnah wal Jamaah, maka ' dalam usaha dakwahnya selalu menerapkan prinsip " At-Tawasuth wal I'tidal fi jami'il Ahwal, artinya sikap pertengahan dan tegak lurus dalam segala hal. Prinsip ini dilengkpi lagi dengan sifat ' At Tawazun " yang berarti menjunjung tinggi keseimbangan, tidak berat sebelah.
Karakteristik " tawassuth, i'tidal, dan tawazun ini tercermin dlam segala bidang, baik aqidah, syari'ah, akhlaq tau tasawwuf dan muamalah di antara sesma manusia. Ketiga prinsip ini melahirkan suatu pendirian bahwa Islam adalah agama yang fithri yang bersifat menyempurnakan nilai – nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri –ciri suatu bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai – nilai tersebut.
Dengan modal karakteristik luhur Ahlussunnah wal Jamaah itulah, agama Islam disebarkan di Indonesia oleh para muballigh dengan sangat bijaksana ( bil hikmah wal maudhatil hasanah ) . mereka mengajarkan agama Islam dengan lemah lembut, tanpa kekerasan sehingga jalanya lancar, aman, damai, dan tenteram memasuki alam pikiran masyarakat. Keramahtamahan dalam berdakwah itulah yang menyentuh nurani bangsa Indonesia, sehingga mereka dengan sadar, tanpa dipaksa memeluk agama Islam. Keramahtamahan merupakan pertanda bahwa Islam adalah agama perdmaian, pembawa persahabatan kepada umat semesta alam. Keramahtamahan inilah yang diwariskan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah untuk diteladani dalam rangka mempertahankan ajaran Islam
Sikap para Walisongo dan para Ulama sepuh, yang merupakan pengikut fahama Ahlussunnah Wal Jamaah ( selanjutnya disngkat Aswaja) dalam menghadapi masalah ini adalah bersikap moderat ( tawasuth) . Sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada prilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat diri melalui fenomena kehidupan secara proporsional.
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan daan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.
Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu pada salah satu kaidah fiqh " al – muhafazhatu ' ala al- qadim al- shalih w al- akhdzu bi al- jadid al- ashlah" ( mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik ). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seorang harus mengapresiasi hsil – hsil kebaikan yang dibuat orang – orang pendahulu ( tradisi yang ada ), dan sikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bererak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Oleh karena itu kaum Sunni tidak a priori terhadap tradisi. Bahkan fiqh Sunni menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqh " al 'Adah muhakkamah" ( adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum )
Sikap tidak a priori terhadap tradisi memungkinkan kaum Sunni bertindak selektif terhadap tradisi. Sikap ini penting untuk menghindarkan dari sikap keberagaman tersebut terhadap tradisi setempat. Sikap selektif kaum Sunni ini mengacu kepada salah satu kaidah fiqh " ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh ' ( jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya)
Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah " bagaimana menggunakan kaidah – kaidah fiqh dalam menyikapi tradisi ? " Banyak orang yang mempertentangkan antara budaya dengan agama. Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sakral ( ukhrawi ), sedang budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profan ( duniawi ). Akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekpresikannya.
Ahlus Sunnah wa al- Jamaah sebagai faham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional ( wajar ). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai – nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini brlaku kaidah " al – muhafazhatu ' ala al- qadim al- shalih w al- akhdzu bi al- jadid al- ashlah" , yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisii atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah ushul fiqh " al 'Adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi ( yang baik ) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan mengisi kelemhan masing – msing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsur – unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin menyimpan butir – butir kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsur – unsur kebikan yang ada dan menyelaraskan unsur – unsur lain agar sesuai dengan Islam. Inilah makna kaidah " ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh '
Contoh dalam hal ini adalah selmatan atau kondangan atau kenduri yang merupakan tradisi orang Jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang selmatan sebagai bid'ah yang harus dihilangkan, kaum Sunni memandang secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam selamatan ada unsur – unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal – hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam selamatan antara lain: merekatkan persatuan dalam masyarkat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendo'akan yang sudah meninggal. Semua itu tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya sekalipun tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam – misalnya sesaji untuk makhluk halus – bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan – pelan dengan penuh kearifan.
Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwa dengan pedoman jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad sebgai panutanya. Satu misal, haji adalah ibadah yang sudah ada sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para shahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum Sunni atau Ahlus Sunnah wa al- Jamaah
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum Sunni sangat berbeda dengan kaun non-Sunni. Kaum Sunni melakukan dakwah dengan cara arif. Pengikut Aswaja tidak melakukan dakwah secara destruktif ( merusak ) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai sesat. Jika saat ini kita jumpai cara – cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumuran darah, hal itu tidak sesuai dengan tuntunan dan kaidah Aswaja.
Demikian inilah cara pengikut Aswaja menyikapi tradisi yang berkembang di tengah – tengah masyarakat, termasuk dalam masalah selmatan ini. Para walisongo yang merupakan pengikut ajaran Aswaja tidak langusng mengilangkanya, tetapi dicari sisibaiknya, dan bila ada unsur – unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam akan dilurukan dan disesuaikan secara pelan-pelan.
Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimana yang dicontohkan oleh Walisongo dalam menghadapi tradisi lokal. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktivitas dakwah dilakukan dengan damai dalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai ( peaceful co-existance )
Berkat sentuhan dakwah para Walisongo ini, tradisi selmatan tetap dilestarikan hingga detik ini, bahkan dalam perkembanganya, selamatan menjadi media dakwah yang amat efektif dimana pada akhir –akhir ini dalam acara selamatan itu selalu diisi dengan ceramah agama oleh para ulama atau muballigh. Materi pengajian yang disampaikan disamping berbicara sesuai dengan hajatnya juga ditambah masalah lain yang menyangkut masalah aqidah,ibadah dan muamalah.
2. Tidak ada Kemusyrikan Dalam Tahlilan
Tahlilan dianggap syirik oleh H. Mahrus Ali, dengan alasan karena didalamnya terdapat Shalawat Nariyah dan shalawat lain yang dianggap bid’ah dan yang penuh kesyirikan. Karena adanya shalawat bid’ ah dan penuh kesyirikan ini maka menurut H. Mahrus Ali dengan sendirinya tahlilan ini juga bid’ah dan penuh kekufuran
Mengenai tuduhan syirik terhadap tahlil akibat adanya shalawat Nariyah ini, rasanya tidak perlu kami ulangi lagi, karena apa yang sudah kami beberkan dalam menjawab tuduhan shalawat Nariyah sudah cukup.
Sedangkan bacaan lainya yang dianggap syirik oleh H. Mahrus Ali dalam tahlilan sehingga tahlilnya pun ikut syirik pula adalah adanya shalawat bid’ah lainya.
Diantara shalawat lain dalam tahlil yang dianggap bid’ah adalah:
اَللَّهُمَ صَلِّ اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.
" Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia, yang menjadi sinar petunjuk, penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu"
اَللَّهُمَ صَلِّ عَلَى اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَمْشِ الضُّحَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.
" Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia, yang menyinari waktu dhuha (pagi ),penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu"
اَللَّهُمَ صَلِّ اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ بَدْرِ الضُّجَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.
" Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia,yang menjadi penerang seolah-olah bulan purnama di waktu pagi, yang menyinari waktu dhuha (pagi ),penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu"
Kata H. Mahrus Ali,” Kalimat tersebut tidak pernah dilafalkan / diucapkan oleh para shahabat dan tidak pernah diajarkan oleh Rasululloh SAW. Dan tidak dikenal di kalangan tabi’in. Entah siapa yang mengarang shalawat tersebut . Setiap pengarang kebid’ahan, tidak mau menampakkan namanya. Mungkin khawatir ternoda atau namanya merosot dan takut dikritisi . Saya telah mencari shalawat tersebut di dalam Ensiklopedi Fatwa Lajnah Da’imah lil Buhuts al- ‘Ilmiyah wal Ifta’ al Su’udiyah, kumpulan fatwa ulama al- Azhar, al- Utsaimin. Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah dan didlam buku – buku tafsir dan hadits, tenyata saya tidak menjumpainya. Jadi ulama sedunia, tiada yang mengarang shalawat seperti itu. Untuk kalimat:
كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.
Insya Allah bias dijumpai dalam kitab Dalailul Khairat yang menurut seluruh ulama Saudi, kitab tersebut merusak akidah. Jadi besar kemungkinan shalawat tersebut pengarangnya dari Indonesia, entah dari Jawa atau Banjarmasin.
Sekali lagi bila alasan melarang, membid’ahkan, mensyirikkan dan mengkufurkan shalawat, tidak perlu kami ulangi lagi. jawabanya sama dengan permasalahan shalawat. Dan bagi kami penganut Ahlussunnah Wal Jamaah sudh berketetapan hati, bahwa semua bentuk shalawat itu adalah salah satu cara berdo’a kepada Alloh dengan tawassul. Dan cara seperti itu dibenarkan bahkan diperintahkan oleh agama berdasarkan kitabullah dan Sunnah Rasululloh SAW.
Untuk menuduh kesyirikan tahlil, H. Mahrus Ali menyatakan,” Di penghujung majlis tahlilan bisaanya ditutup dengan dua kasidah syirik sebagai berikut:
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتُهُ لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ اْلاَهْوَالِ الْمُقْتَحَم
Menurut H. Mahrus Ali,” Kesyirikan di sini menyatakan bahwa Muhammad SAW merupakan satu figure yang syafaatnya diharapkan untuk melenyapkan segala bahaya dan penderitaan di dunia maupun di akhirat bukan disandarkan kepada Alloh.
Hal senada juga dikemukakan H. Mahrus Ali dalam bukunya,” Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat Dan Dzikir Syirik “ .Dia mengatakan yang diantaranya dibaca dlam tahlil sebagaimana disebut diatas dan juga bait – bait lainya dalam kasidah burdah itu berlumuran syirik. Ia dengan mengutip pendapat Ibnu al- ‘ Utsaimin mengatakan, “ Kalimat tersebut sangat kufur, melampaui batas dalam memuji Rasulullah SAW . Bagaimana pantas seorang penyair menyekutukan Alloh dengan sesuatu. Rasulullah SAW mulia bukan karena namanya Muhammad, tapi karena beliau adlah hamba dan utusan-Nya”
Syaikh al- ‘Utsaimin melanjutkan perkataanya,” Sang penyair justru berlindung kepada Rasulullah SAW di akhirat, bukan kepada Alloh Ta’ala. Penyair itu merasa akan binasa bila tidak mendapat pertolongan Muhammad, sementara lupa kepada Alloh SWT yang di tangan-Nya segala bahaya, manfaat, pemberian dan penolakan. Dialah Alloh SWT yang akan menyelamatkan para kekasihnya dan orang – orang yang taat. Sang penyair menjadikan Rasulullah SAW sebagai penguasa dunia akhirat, dan menganggapnya sebagai bagian dari kedermawanan beliau. Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengetahui perkara ghoib dan mengetahui tulisan di Lauh Mahfuzh. Ini adalah kekufuran yang nyata dan keterlaluan dalam memuji. Kita mohon kepada Alloh SWT agar diselamatkan darinya.
Kritikan H. Mahrus Ali bertentangan dengan aqidah umat Islam di seluruh dunia yang meyakini adanya syafaat Nabi Muhammad SAW. Pernyataan ini berarti secara jelas dia tidak mengakui adanya keagungan Rasululloh SAW yang diberi keistimewaan oleh Alloh untuk memberi syafaat kepada umatnya. Dan pernyataan ini juga bertetangan dengan sabda Rasululloh SAW yang menyatakan bahwa beliau mendpoatkan maqam mahmud , yaitu diberi izin khusus oleh Alloh untuk memberikan syafaat kepada umatnya.
Banyak sekali hadits – hadits Rasululloh SAW tentang syafaat ini. Diantaranya adalah:
“ Abu Hurairah RA berkata,” Kami bersama Rasulullah SAW dlam suatu undangan, maka dihidangkan kepada beliau daging paha kambing yang memang kesukaan beliau, dan ketika menggigitnya beliau bersabda,” Sayalah yang paling terkemuka dri semua orang pada hari kiamat. Tahukah kamu mengapa itu ? Alloh mengumpulkan orang – orang yang dahulu dan yang terakhir dalam suatu lapangan, hingga dpat terlihat semua dan terdengar semua dan mathari lebih dekat pada mereka, hingga manusia telah risau yang tidak terderita rasanya. Mka orang – orang mulai berkata,” Tidkkah kamu fikirkan penderitaan kami ini, tidakkah diusahakan siapakah yang memberikan syafa’atnya kepda Tuhan. Maka berkata sebagian ,” Ayah kami Adam. Maka pergilah mereka kepada Adam dan berkata:” Wahai Adam, engkau ayah manusia, Alloh telah menjadikan kau dengan tangan-Nya, dan dan meniupkan kepadamu dari ruh dan menyuruh Malaikat bersujud dan menempatkan kau dalam surg. Tidakkah engkau suka memberikan syafaatmu kepada Tuhan untuk kami, tidakkah engkau lihat bagaimana penderitaan kami ini ?” Jawab Adam:” Tuhanku kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini dan Ia telah melarang saya dri pohon, mendadak saya langgar, diriku , diriku, diriku, lebih baik kamu pergi kepda selain aku, pergilah kepada Nuh. Maka pergilah rombongan itu kepada Nabi Nuh dan berkata,” Wahai Nuh, engkau utusan Alloh yang pertama ke bumi dan Alloh menamakan engku hamba syukur , tidakkan perhatikan keadaan kami ini, tidakkah engkau memberikan syafaatmu kepada kami ini ?” Jawab Nuh,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan do’ – do’a yang diberikan Alloh untukku telah saya pergunakan membinasakan kaumku, diriku , diriku, diriku, pergilah kepada Ibrahim. Maka mereka pergi kepada Ibrahim, dan berkata,” Wahai Ibrahim, engkau adalah Nabiyulloh dan Khalilulloh dari penduduk bumi, berikan pembelan syafaatmu untuk kami menghadap Tuhan, tidakkah engkau lihat kedaan kami ini ? “ Jawab Ibrahim,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan saya telah tiga kali berdusta, diriku , diriku, diriku, pergilah kamu kepda Musa. Maka mereka pergi kepada Musa dan berkata,” Wahai Musa, engkau adalah utusan Alloh, dan Alloh telah mengutamakan engkau dengan risalah dan bicara-Nya, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan, tidakkah engkau lihat kedaan kami ini ? “ Jawab Musa,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan saya telah membunuh jiwa yang tidak diperintahkan kepada saya, diriku , diriku, diriku, pergilah kamu kepada Isa Maka mereka pergi kepada Isa dan berkata,” Wahai Isa, engkau adalah utusan Alloh dan Kalimatullah yang telah diturunkan kepada Maryam dank au telah dapat berbicara sejak di buaian, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan” Jawab Isa “Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, pergilah kamu kepada Muhammad SAW, maka mereka dating kepadaku, dan berkata,” Hai Muhammad, engkau adalah utusan Alloh dan penutup dari para Nabi, dan telah diampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan dating, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan, tidakkah engkau perhatikan keadaan kami ini”. Maka saya pergi ke bawah Arasy lalu bersujud, dan Alloh mengilhamkan kepada saya berbagai pujian yang kemudian diperintahkan kepadaku:
يَا مُحَمَّدُ اِرْفَعْ رَأْسَكَ ,سَلْ تُعْطَهْ ,وَاشْفَعْ تُشْفَعْ,فَأَرْفَعُ رَأْسِى فَأَقُوْلُ: أُمَّتِى يَارَبِّ, أُمَّتِى يَارَبِّ, أُمَّتِى يَارَبِّ,فَيُقَالُ: يَا مُحَمَّدُ ! أَدْخِلْ مِنْ أُمَّتِكَ مَنْ لاَحِسَابَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْبَابِ اْلأَيْمَنِ مِنْ اَبْوَابِ الْجَنَّةِ, وَهُمْ شُرَكَاءُ النَّاسِ فِيْمَا سِوَى ذَلِكَ مِن اْلأََبْوَابِ, ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ اِنَّ مَا بَيْنَ الْمِصْرَعَيْنِ مِنْ مَصَارِعِ الْجَنَّةِ كَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَهَجَرَ, أَوْ كَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَ بَصْرَى.متفق عليه
“ Wahai Muhammad, angkatlah mukamu dan mintalah akan diterima, dan berilah syafaat, maka saya bangun dan berkata,” Ummatku, hai Tuhan, Ummatku, hai Tuhan, Ummatku, hai Tuhan”, maka diperintahkan:” Wahai Muhmmad, masukkan dari umatmu yng tiada dihisab ke surga dari sebelah kanan, dan lain pintu bersama lain – lain orang (ummat ) . kemudian Nabi bersabda,” Demi Alloh yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya antara dua ambang pintu surga itu bagaikan jarak antara Makka dan Hajar, atau antara Makkah dan Bashrah” ( H.R.Bukhari – Muslim )
Memahami hadits ini, tentu kita semua bertanya, mengapa umat manusia pada saat itu berlindung kepada para Nabi, kemudian nabi – nabi itu tidak ada yang sanggup menolong mereka, sehingga kemudian mereka meminta pertolongan kepada Rasululloh SAW ? Mengapa mereka tidak meminta pertolongan secara langsung kepada Alloh saja ? Dalam hadits – hadits sebenarnya telah dijelaskan bahwa umat manusia dan para nabi tidak ada yang berani memohon perlindungan kepada Alloh secara langsung, karena pada saat itu Alloh menampakkan kemurkaan-Nya yang begitu hebat yang belum pernah ditampakkan sebelum dan sesudahnya. Dlam hadits – hadits shahih disebutkan bahwa para nabi itu ketika dimintai pertolongan, mereka memberikan jawaban:
اِنَّ رَبّى قَدْ غَضَبَ الْيَوْمَ لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ .رواه البخارى (4343)
“Sesungguhnya Tuhanku kini telah murka dengan kemrahan yang belum pernah terjadi sebelum dan sesudhnya” ( Shahih Bukhari ,4343 )
Kemurkaan Alloh pada hari kiamat yang membikin gentar dan takut seluruh makhluk termasuk para nabi tersebut, oleh Bushiri diekspresikan dalam keindahan bait al- Burdah berikut ini:
اِذَا الْكَرِيْمُ تَجَلَّى بِاسْمِ مُنْتَقِمِ
“ Pada saat Alloh menampakkan kemurkaan-Nya”
Dan inilah yang disebut dengan al- syafa’at al – uzhma ( pertolongan agung ) yang hanya dimiliki oleh Rasululloh SAW. Sementara nabi – nabi yang lain tidak ada yang memilikinya. Dengan syafa’at yang agung ini, seluruh umat manusia baik yang beriman maupun yang kafir, kelak akan memuji jasa Rasululloh SAW karena telah mengeluarkan mereka dari ketakutan dan kesusahan besar pada saat itu. Dan ini yang disebut oleh umat manusia dengan al – maqam al- mahmud. Dalam al-Qur’an ditegaskan:
“ Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji “ ( Q.S.al Isra’ : 79 )
Sebenarnya persoalan al- syafa’at al – uzhma dan al – maqam al- mahmud tersebut telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, termasuk kelompok Wahhabi, Al- ‘Utsaimin sendiri menyebutkan al- syafa’at al – uzhma dan al – maqam al- mahmud tersebut dalam kitabnya Syarh al ‘ Aqidah al-Wasithiyah ( hal. 525 – 528 ) dengan mengutip hadits Bukhari –Muslim. Akan tetapi persoalanya menjadi lain, ketika Al- ‘Utsaimin melihat al- syafa’at al – uzhma ini diekspresikan dalam keindahan sebuah syair oleh al-Bushiri, yang shufi sunni dalam Burdah-nya. Karena terbawa kebenciannya terhadap ajaran tashawwuf dan paradigmanya yang sempit dalam soal tawassul dan bid’ah. Al- ‘Utsaimin berupaya mencari celah untuk dapat mengkafirkan penulis al- Burdah dan para penggemarnya dari kalangan pecinta tashawwuf, walaupun dengan bait – bait Burdah secara tidak proporsional. [17]
Sehubungan dengan syafaat ini Rasululloh SAW bersabda lagi:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكَلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ يَدْعُو بِهَا, وَأُرِيْدُ اَنْ أَخْتَبِئَ دَعْوَتِى شَفَاعَةٌ ِلأُمَّتِى فِى اْلأَخِرَةِ .متفق عليه
“ Abu Hurairah RA berkata,” Rasululloh SAW bersabda,” Setiap nabi mempunyai sebuah do’a yang dikabulkan, yang dengannya ia berdo’a. Saya ( Nabi SAW) bermaksud menyimpan do’akuy itu yakni untuk memberikan syafaat kepda ummatku di akhirat” ( H.R.Bukhari – Muslim )
Imam Muslim menambahkan sabda beliau SAW itu dengan:
فَهِىَ نَافِلَةٌ اِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللّهِ شَيْئًا
“ Syafaat itu akan diperoleh insya Alloh Ta’ala bagi siapa yang mati dari umatku yang tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan Alloh”
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بِشَفَاعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ يُسَمُّوْنَ الْجَهَنَّمِيِيْنَ.رواه البخارى ابوداود وابن ماجه
Dari ‘Imran bin Hushain RA,berkata,” Rasululloh SAW bersabda,” Ada satu kaum keluar dari neraka dengan syafaat Muhammad SAW lalu mereka itu sama memasuki surga dan mereka diberi nama Jahannamiyin ( bekas ahli Jahannam)” ( H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Ibnu Majah )
Atas dasar hadits – hadits Rasululloh SAW ini nyatalah bahwa pernyataan H.Mahrus Ali adalah kebohongan besar dan sangat menyimpang dari ajaran aqidah Islamiyah, terutama Kitabullah dan Sunnah Rasululloh SAW.dimana kita umat manusia pada hari kiamat sewaktu dalam keadaan ketakutan dan kesusahan sangat membutuhkan syafaat dari baginda Rasululloh SAW. Hanya H.Mahrus Ali dan para pengikutnya saja yang tidak membutuhkan syafaat Rasululloh SAW karena sudah mendapatkan tiket khusus untuk masuk surga. Dan dari sini jelas pula kedudukan do’a atau bacaan shalawat al-Burdah yang dibaca dalam acara tahlilan tidak termasuk bacaan yang dilarang, apalagi mengandung unsur kesyirikan dan kekufuran.
3. Menghormat Mayit dan Ta'ziah Kepada Keluarganya adalah perintah Agama
Menghormat sesama manusia dan mendo’akanya tidak terbatas pada saat masih hidup saja. Kepada orang yang sudah meninggalkan kita tetap harus menghormati dan mendo’akanya. Menghormati seseorang yang masih hidup sudah sama – sama kita maklumi tatacaranya. Sedang cara menghormati seorang yang sudah meninggal dunia dibutuhkan cara khusus yang diatur dalam Islam.
Salah satu cara menghormati orang yang sudah meninggal adalah dengan menghormati jenazahnya, menshalatinya, menguburkanya dan mendo’akanya, baik pada saat dikuburkan maupun sesudahnya. Mendo’ak seseorang yang sudah meninggal bisa dilakukan dengan mebaca al Qur’an ,tahlil, dan do’a yang khusus ditujukan kepdnya. Dan agar mendapatkan barkah dan dapat mempererat tali shilaturrahmi, maka oleh shahibul mushibah dikumpulkan semua sanak kerabat dan hambai tolan untuk diajak berdo’a bersama yang dikemas dalam acara tahlilan dan do’a bersama.Kegiatan berdo’a bersama ini diperintahkan oleh agama agar selalu mempererat hubungan shilaturrahmi dengan sesama muslim.
Selain berdo’a melalui acara tahlilan, untuk mempererat shilaturrahmi, sesama keluarga dan hubungan batin dengan seseorang yang sudah meninggal duniaa, disunatkan pula melakukan ta'ziyah dan ziarah kubur. Walaupun ta'ziyah dan ziarah kubur dan ziarah kubur itu ditujukan kepada orang yang sudah mati, cara demikian itu dapat mempererat hubungan batin dengan keluarga yang ditinggalkan.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : اِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ,وَ اِذَا دَعَاكَ فَاَجِبْهُ وَ اِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَ اِذَا عَطَسَ فَشَمِّتْهُ ,وَاِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَاِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ (رواه مسلم)
“Abu Hurairah RA berkata,” Rasulullah SAW bersabda,” Hak orang Islam atas orang Islam lain ada enam: (1) apabila engkau bertemu dia ucapkan salam untuknya; (2) apabila ia mengundangmu datangilah dia; (3) apabila dia meminta nasehat kepadamu berilah nasehat untuknya; (4) Apabila dia bersin lalu mengucapkan ‘Alhamdulillah’ maka berdoalah menyahutinya ; (5) apabila dia sakit tengoklah dia dan ( 6 ) apabila dia mati antarkanlah di a ke kubur” (H.R. Muslim )
Ta'ziyah adalah kunjungan ( ucapan ) untuk menyatakan turut berduka cita atau bela sungkawa. Kata Ta'ziyah ini berasal dari bahasa Arab : عَزَّى - يُعَزِّى – تَعْزِيَةً yang berarti memuliakan. Menurut K.H.Ahmad Warson Munawwir, Kata Ta'ziyah juga berarti terhibur atas apa yang menimpanya, menyatakan bela sungkawa ( berduka cita ). Maksudnya menghibur, yakni menghibur hati keluarga yang ditinggalkan salah satu anggotanya.
Menurut K.H.Najih Ahyad , ta'ziyah ialah menasehati orang yang tertimpa musibah supaya bersabar. Dalam hal ini ialah menasehati keluarga mayat supaya bersabar, supaya tabah menghadapi musibah yang menimpa mereka .
Selanjutnya, kata تَعْزِيَةً diperunakan sebagai sebutan kunjungan seseorang kepada keluarga yang mendapat musibah kematian salah satu angota keluarganya. Oleh sebab itu, ta'ziyah atau melayat dikatakan juga sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal dunia.
Ta'ziyah ini adalah perbuatan baik yang dianjurkan oleh agama. Dalam hadits diterangkan sabda Rasululloh SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا فَالَ: فَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَامِنْ مُسْلِمٍ يُعَزِّى اَخَاهُ بِمُصِيْبَةٍ اِلاَّ كَسَاهُ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُلَل الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .رواه ابنْ مَاجه
" Ibnu Umar r.a berkata," Rasululloh SAW" Tiada seorang mukmin pun yang menta'ziyahi saudaranya karena sesuatu musibah melainkan Alloh Azza wa Jalla memberinya pakaian dari kehormatan pada hari kiamat " ( H.R.Ibnu Majah )
Rasululloh SAW memberi dorongan kepada kita untuk berta'ziya kepada saudara kita, baik muslim maupun non muslim. Rasululloh SAW menjanjikan kepada orang yang mau berta'ziyah bahwa pada hari kiamat akan dianugerahi Alloh pakaian kebesasaran.
Apabila yang meninggal dunia seorang muslim, ta'ziyah merupakan amalan terpuji karena memenuhi hak-hak sesama muslim. Rasululloh SAW bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ,وَعِيبَادَةُ الْمَرِيْضِ , وَاِتْبَاعُ اْلجَنَازَةِ ,وَاِجَابَةُ الدَّعْوَةِ , وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“ Abu Hurairah RA berkata,” Rasululloh SAW bersabda,” Hak orang Islam atas orang Islam lain ada lima: (1) membalas salam; (2) menengok orang sakit; (3) mengantar jenazah; (4) menghadiri undangan; dan (5) berdo’a menyantuni orang yang sedang bersin” ( H.R Bukhari dan Muslim)
DR.H.Moh.Rifa'i dan Drs. Ahmad Musthafa Hadna,SQ menanmbahkan," Termasuk dalam pengertian Ta'ziyah ialah meringankan beban finansial keluarga yang ditinggalkan. Nabi SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَمَا قَدِمَ خَبَرُ مَوْتِ اَبِى قَالَ النَّبِىُّ ِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِلاَهْلِ بَيْتِهِ اِصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرَ طَعَامًا وَابْعَثُوْا بِهِ اِلَيْهِمْ فَقَدْ جَاءَ هُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ عَنْهُ
yang sunah saja jarang dilakukan, ini belum ada dasar yang pasti malah diributkan, kalau memang ahli sunah berarti semua sunah yang diperintahkan oleh Rosululloh SAW harusnya dikerjakan, bukan malah ngeributin yang kayak gini..............
ReplyDeleteyang sunah saja jarang dilakukan, ini belum ada dasar yang pasti malah diributkan, kalau memang ahli sunah berarti semua sunah yang diperintahkan oleh Rosululloh SAW harusnya dikerjakan, bukan malah ngeributin yang kayak gini..............
ReplyDeleteFshjs
ReplyDeleteMaaf sebelumnya, kata bapak tadi sunan Kudus menjawab fahwa "di belakang nanti ada orang muslim yg menyempurnakannya". Sekarang mengapa kita tidak sama sama belajar menyempurnakan? Jelas sekali dari cerita bapak bahwa tahlilan adalah cara para wali agar orang animisme tidak menolak, mengenai berkumpul dan berzikir bersama,, bukankah dati kata ahli sunnah wal jamaah berati kita harus mengkaji sunah secara berjamaah, masih banyak hadits yang harus kita pelajari, kita bisa berkumpul dan mengaji al qur'an dan hadits, maaf pak, tidak hanya tahlilan.syukhron
ReplyDeleteMaaf sebelumnya, kata bapak tadi sunan Kudus menjawab fahwa "di belakang nanti ada orang muslim yg menyempurnakannya". Sekarang mengapa kita tidak sama sama belajar menyempurnakan? Jelas sekali dari cerita bapak bahwa tahlilan adalah cara para wali agar orang animisme tidak menolak, mengenai berkumpul dan berzikir bersama,, bukankah dati kata ahli sunnah wal jamaah berati kita harus mengkaji sunah secara berjamaah, masih banyak hadits yang harus kita pelajari, kita bisa berkumpul dan mengaji al qur'an dan hadits, maaf pak, tidak hanya tahlilan.syukhron
ReplyDelete