Sunday, December 9, 2012

Macam-macam Bid'ah Menurut Para Ulama'



MACAM-MACAM BID’AH HASANAH
MENURUT PARA ULAMA’


1.      Jawaban Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap Pendapat Wahhabiyah
Menurut pandangan Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah, tesis al-‘ Utsaimin diatas sangat lemah dan sulit dipertahankan seara ilmiah , sebagaimana dikatakan oleh Tim Bahtsul Masail Jember,” Tsesis al-‘ Utsaimin ini sangat lemah dan sulit dipertahankan seara ilmiah oleh al-‘ Utsaimin sendiri. Disamping tesis tersebut sebagai bukti kesempitan cara berfikirnya dan menyalahi metodologi berfikir para shahabat, ulama salaf dan ahli hadits, tesis diatas justru bertentangan dengan pernyataan al-‘ Utsaimin sendiri di bagian lain dalam bukunya, yang menjadi bid’ah menjadi beberapa bagian sesuai dengan pendpat mayoritas ulama. Misalnya ia menyatakan:
اَ ْلأَصْلُ فِى أُمُوْرِ الدُّنْيَا الْحِلُّ فَمَا ابْتُدِعَ منْهَا فَهُوَ حَلاَلٌ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ, لَكِنْ أُمُوْرُ الدُّنْيَا اَ ْلأَصْلُ فِيْهَا الْخَطَرُ , فَمَاابْتَدَعَ  مِنْهَا فَهُوَ حَرَامٌ  بِدْعَةٌ , إِلاَّ بِدَلِيْلٍ  مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ (العثيمين, شرح العقيدة الواسطية , ص / 639 - 640 )
Hukum asal perbuatan baru dalam urusan – urusan dunia adalah halal. Jadi, bid’ah dalam  urusan – urusan dunia  itu halal, kecuali da dalil menunjukkan keharamanya. Tetapi hokum asal perbuatan baru dalam urusan – urusan  agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan – urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keharamanya.” ( Al – ‘Utsaimin,Syarh al- ‘Aqidah al- Wasithiyah, hal. 639 – 640 )
Tentu saja pernyataan al-‘Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun kemudian, disini al-‘Utsaimin membatalkanya  dengan menyatakan bahwa” bid’ah dalam  urusan – urusan dunia  itu halal semua, kecuali ada dalil melarangnya. Bid’ah dalam urusan – urusan  agama haram dan bid’ah semua kecuali ada dalil yang membenarkanya” .  Dengan klasifikasi bid’ah menjadi dua ( versi al-‘Utsaimin ) , yaitu bid’ah dalam hal dunia dan bid’ah dalam hal agama, dan memberi pengecualian dalam masing – masing bagian, menjadi bukti bahwa al-‘Utsaimin  tidak konsisten dengan pernyataan awalnya ( tidak ada pembagian dalam bid’ah ) . selain itu, pembagian bid’ah menjadi dua versi ini, tidak memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan , dan hanya retorika Wahhabisme saja.
Da;am bagian lain, al-‘Utsaimin juga menyatakan:
وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُفَرَّرَةِ أَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ , فَوَسَائِلُ الْمَشْرُوْعِ مَِشْرُوْعَةٌ وَوَسَائِلُ  غَيْرُ الْمَشْرُوْعِ غَيْرَُِشْرُوْعَةٍ بَلْ وَسَائِلُ الْمُحَرَّمِ حَرَامٌ , فَالْمَدَارِسُ وَتَصْنِيْفُ العِلْمِ وَتَأْلِيْفُ الْكُتُبِ وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لَمْ يُوْجَدْ فِى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  عَلَى هٰذَا الْوَجْهِ إِلاَّ أَنَّهُ لَيْسَ مُقْصَدًا بَلْ هُوَ وَسِيْلَةٌ  وَ الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ,وَلِهٰذَا بَنَى شَخْصٌ  مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ  مُحَرَّمٍ  كَانَ الْبِنَاءُ حَرَمًا وَلَوْ بَنَى  مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ كَانَ الْبِنَاءُ مَشْرُوْعًا (العثيمين, الابداع فى كمال الشرع وخطر الا بتداع,18 – 19   )
  “ Diantara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum tujuanya. Jadi perantara tujuan yang distari’atkan, juga disyari’atkan. Perantara tujuan yang tidak disyari’atkan, juga tidak disyari’atkan. Bahkan perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan madrasah – madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab – kitab, meskipun bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara mengikuiti hokum tujuanya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang dihramkan, maka membangunya dihukumi haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengerjakan syari’at, maka membangunya disyari’atkan.”  (al ‘ Utsaimin, al- Ibda’ fi Kamal al- Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 18 - 19 )
Dalam pernyataan ini, al-‘Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil  yang diambil sebelumnya. Pada awalnya dia, mengatakan, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan, tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pernah membagi bid’ah menjadi tiga apalagi menjadi lima. Kini al-‘Utsaimin  telah menyatakan, bahwa membangun madrasah,menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw, namun hal ini bid’ah yang belum tentu sesat, belum tentu ke neraka, bahkan hokum  bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberpa bagian sesuai dengan hokum dan tujuanya.
Pernyataan ini secara tidak langsung ia mengakui adanya bid’ah dan macam-macamnya sesuai dengan pembagian dalam hokum Islam, baik pembagian kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, maupun pembagian bid’ah menjadi bid’ah wajibah, bid’ah mandzubah, bid’ah mahkruhan, bid’ah muharramah, dan bid’ah mubahah.
2.      Pembagian Bid’ah
  Dalam hal ini penulis kutipkan kembali tanggapan, komentar dan penjelasan Dr.Ibrahim bin Amir ar Ruhaili secara panjang lebar dalam buku yang sama mengenai pembgian bid’ah dari ulama Ahlussunnah Wal Jamaah diatas . Beliau menulis:” Diantara ulama ada yang membai bid’ah seperti pembagian tingkatan hokum yang lima. Sehinmgga mereka membagi bid’ah kepada bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Orang yang pertama kali membagi seperti itu adalah Al Izz bin Abdussalam, beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikenal di zaman Rasulullah Saw dan demikian itu terbagi menjadi bid’ah wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Pendapat diatas diteruskan oleh muridnya, Al- Qarafi dan dia mengatakan, para ulama sepakat mengingkari bid’ah, padahal yang benar bid’ah terbagi menjadi lima:
Bid’ah wajibah: Bid’ah yang berkaitan dengan kaidah wajib seperti pengumpulan Al – Qur’an dan ajaran yang dikhatarikan lenyap, karena menyampaikan kebenaran wajib dan menyia – nyiakan haram secara ijma’
Bid’ah haram: Bid’ah yang berkaitan dengan nash atau kaidah agama yang mengharamkan sesuatu seperti pajak dan pungutan yang berlawanan dengan kaidah agama, suatu contoh mengedepankan orang bodoh dari orang alim atau menyerahkan jabatan kepada orang yang tidak professional dengan cara KKN
Bid’ah Sunnah: Bid’ah yang ada sangkut pautnya dengan dalil atau kaidah sunnah seperti shalat tarawih, memberi jaminan kesejahteran kepada imam dan para hakim serta para pejabat tinggi yang tidak dilakukan pada zaman shahabat, dalam rangka menjaga kewibawaan pemimpin di depan rakyatnya.
Bid’ah makruh: Bid’ah yang ada kaitanya dengan dalil atau kaidah hokum makruh, seperti mengkhususkan ibadah pada hari – hari utama sebagaimana hadits riwayat Muslim bahwa Rasulullah Saw melarang mengkhususkan hari Jum’at untuk  puasa atau qiyamul lail pada malamnya ( H.R.Muslim)
Begitu juga menambah dalam perkara sunnah yang terbatas seperti menambah bilangan tasbih 33 kali menjadi seratus, menambah jumlah zakat fithrah menjadi sepuluh sha’. Karena tambahan itu bukti tidak punya adab dan sikap menentang kepada Allah. Apalagi tambahan dalam perkara wajib, karena bisa saja muncul keyakinan bahwa tambahan itu juga wajib.
Bid’ah mubah:  Bid’ah yang berkaitan dengan dalil atau kaidah hokum yang mubah, seperti membuat tepung dari kurma. Dan ini bid’ah yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah Saw karena mencari cara hidup yang layak suatu hal yang boleh.
Selanjutnya beliau menambahkan,”  Pembagian bid’ah seperti diatas merupakan kebatilan dan ditentang oleh para ulama, diantaranya Imam Syathibi menyatakan  bahwa, pembagian seperti itu merupakan tindakan mengada – ada yang tidak bisa dibuktikan dengan dalil, bahkan terdapat kontradiksi sebab hakikat bid’ah suatu yang tidak ada dalilnya secara syar’I baik secara nash maupun kaidah umum. Bila bid’ah terbagi menjadi wajib,sunnah, haram, makruh dan mubah, maka tidak ada perkara bid’ah serta termasuk perkara yang diajurkan bahwa mengumpulkan perkara itu adalah bid’ah, suatu tindakan yang kontradiktif.
Pembagian bida’ah haram dan makruh bisa saja diterima, tetapi boleh jadi perkara itu bukan bid’ah namun hanya sekedar maksiat, seperti membunuh, mencuri, minum khamer.
Semua contoh yang dibuat untuk bid’ah wajib bukan bid’ah, tapi masuk dalam kaidah mashalih mursalah dan hal itu diamalkan oleh para shahabat, karena termasuk kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama ushul fiqih. Hal itu tampak sekali pada proses pengumpulan mushaf dalam rangka untuk menjaga maslahat agar bacaan Al- Qur’an yang terdiri dari berbagai dialek tetap murni. Terlebih setelah rasul wafat muncul perselisihan dalam bacaan Al Qur’an, sehingga para shahabat khawatir muncul pertikaian di kalangan umat. Para shahabat menetapkan mushaf Utsman sebagai rujukan dan semua bacaan yang ada dilenyapkan, karena sudah ada semua dalam mushaf tersebut.
Sebenarnya bid’ah sunnah bukanlah suatu bid’ah terlihat dari contoh – contoh yang ada. Shalat tarawih bukanlah suatu bid’ahkarena Rasulullah Saw pernah melakukan shalat itu dan semua orang shalat di belakangnya.
Dalam Shahih Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw suatu malam shalat di masjid, lalu orang mengikuti shalatnya kemudian malam berikut shalat lagi, lalu banyak orang yang mengikutinya. Kemudian mereka berkumpul malam ketiga atau keempat, maka Rasulullah Saw  tidak keluar ke masjid. Tatakala pada pagi hari beliau bersabda,” Saya telah melihat apa yang kalian lakukan, tidak ada orang yang menghalangi aku keluar, melaikan aku takut shalat ini difardhukan kepada kalian.” Ini terjadi pada bulan Ramadhan.”
Hadits diatas menunjukkan bahwa shalat tersebut sunnah dan sah bila dilakukan berjamah. Tidak keluarnya Rasulullah Saw, bukan berarti melarang shalat tetapi hanya khawatir difardhukan. Sebab waktu itu, wahyu masih turun, sehingga shalat itu menjadi wajib. Tatkala habis masa wahyu, kembali pada asalnya dan tidak ada dalil yang menghapus hokum itu.
Tentang Abu Bakar Radlyallahu ‘Anhu yang tidak melakukan hal itu, mungkin saja karena dua hal,dia memandang bahwa orang melakukan qiyamul lail pada akhir malam lebih utama daripada mengumpulkan orang  pada awal malam di belakang seorang imam, atau boleh jadi beliau sibuk mengurusi orang - orang murtad karena itu lebih utama daripada shalat tarawih
Contoh bid’ah mubah dalam masalah membuat tepung dari kurma, hanya masalah membuat menu makanan dan demikian itu bukan perkara bid’ah kecuali jika ada unsure berlebihan dan bila tidak ada unsure mubadzir maka tidak dilarang.
Masalah haram tidak secara mutlak bisa disebut bid’ah, bahkan hanya disebut pelanggaran karena semua berdsarkan ketentuan syariat seperti membayar zakat dan pelanggaran dalam masalah diatas tidak bisa disebut perbuatan bid’ah.
Tidak kita ingkari, banyak masalah bid’ah yang masuk ke dalam perkara makruh. Dan ini tidak perlu dibicarakan, seperti pengkhusususan sebagian malam atau hari dengan enis ibadah atau menambah perkara sunnah yang terbatas. Sikap yang baik dalam ibadah mahdhah tidak mengurangi dan tidak menambahi sebab tindakan itu hanya menimbulkan bida’ah dalam agama.
Kemudian Imam Asy-Syatibi mengkritik pendapat Al- Qarafi, bahwa kreatifitas seni dan perubahan kondisi politik suatu saat dibutuhkan bahkan terkadang wajib. Pernyataan diatas sangat kontradiksi dengan ucapan akhir beliau, bahwa semua kebaikan hanya diperoleh dengan mengikuti sunnah dan segala keburukan hanya diperoleh dari melakukan kebid’ahan. Berarti semua jenis bid’ah adalah buruk, tetapi pada sisi lain beliau mengatakan ada bid’ah wajib yang lazim diamalkan, tidak mungkin bisa dipisahkan seperti masalah shalat di rumah hasil rampasan.
Jadi pembagian bid’ah seperti diatas merupakan suatu kebatilan dan tidak bersandar pada dalil, bahkan melawan arus nash- nash agama seperti sabda Nabi Saw,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Sehingga semua bid’ah terlarang dan sesat. Bagi  orang yang memahami dalil – dalil dengan baik, mustahil bid’ah dibagi menjadi bid’ah wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Maka sadar atau tidak berarti ia telah membuat kedustaan kepada Allah dan menyelisihi jalan Rasulullah Saw karena Allah telah berfirman:
 “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? “ ( Q.S. al An’âm   ( 6 ) : 144 )
Dan Allah memberi peringatan kepada orang yang menyelisihi Rasul,
 “ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali “ ( Q.S. an –Nisâ’ ( 4 ) : 115 )
Begitu pula pembagian bid’ah menjadi bid’ah dlalalah dan bid’ah hasanah, maka jelas orang yang membagi seperti ini tidak mengerti tentang kaidah dan hakikat inti ajaran Islam atau memahami sebagian dalil dengan kesimpulan yang pincang, sehingga menyangka diantara ulama salaf ada yang menyatakan adanya bid’ah hasanah, padahal semua ulama salaf telah membuat putusan bahwa seluruh bid’ah sesat.
Demikianlah pendapat kaum Wahhabiyah yang sudah dikembangkan oleh para pengikutnya dari mulai generasi pertama sampai generasi sekarang ini, seperti Abdullah bin Baz, Shaleh al Utsaimin, al-Albani, Arrabi, Al Qahthani, Abdurrahman bin Hasan,Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Ibnu Nashir ad-Dimisqy,sampai kepada H.Mahrus Ali..
3.      Bid’ah Menurut Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah
  1. Dr. Ibrahim bin Amir ar Ruhaili
Meskipun beliau tidak sepakat dengan adanya pembagian bid’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ulama  Ahlussunnah diatas diatas, namun ternyata beliau juga  mengakui adanya macam – macam bid’ah walaupun dengan istilah yang berbeda. Untuk lebih jelasnya disini sengaja penulis kutib secara lengkap pembagian bid’ah menurut beliau yang termaktub dalam bukunya “ Mawqif Ali al Sunnah wa al-Jama’ah min Ahli al –Ahwâ wal- al Bidâ, beliau berkata: “ Para ulama membagi bid’ah menjadi beberapa bagian, semua itu telah diojelaskn secara rinci oleh para ulama. Karena pembagian itu ada hubunganya  dengan pembahasan ini, maka saya perlu memaparkan sekilas pembagian bid’ah tersebut tanpa mengurangi bobot pembahasan.
Inilah pembagian bid’ah secara ringkas.
a.      Bid’ah Hakikiyah dan Bid’ah Idhafiyah
Menurut Imam Syathibi bahwa bid’ah hakikiyah adalah suatu yang tidak berdasarkan dalil baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah,Ijma’ atau hasil ijtihad di kalangan ulama baik secara global atau rinci. Meskipun ahli bid’ah mengaku bahwa kebid’ahan itu masih dalam batas pemahaman dari sebuah dalil, tetapi penmgakuan tersebut tidak benr baik secara implicit maupun secara eksplisit.
Bid’ah hakiki lebih banyak ditemukan dalam kehidupan misalnya mengharamkan yang halal seperti seseorang yang mengharamkan pada dirinya makanan tertentu – tidak makan daging, tidak mau mengenakan jenis baju tertentu atau tidak mau menikah dan lainya – sebab Allah SWT berfirman:
 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “ ( Q.S. al Mâidah ( 5 ) : 87 )
Contoh lain menghalalkan yang haram seperti zina, minum khamar, makan daging babi, riba dan hal – hal lain yang diharamkan lainya.
Begitu juga mempersembahkan suatu jenis ibadah kepada selain Allah seperti menyembelih, nadzar kepada selain Allah, berdo’a kepada selain Allah atau mengaku tahu perkara ghoib.
Termasuk juga pengingkaran kehujjahan sunnah, mengaku aku jadi nabi, mengaku dapat wahyu dan yang lainya. Tidak ada yang mengingkari bahwa perkara itu bid’ah, melainkan ahli bid’ah.
Adapun bid’ah Idhafiyah, menurut Imam Syathibi adalah yang memiliki standar ganda.
Pertama; perkara tersebut dikuatkan oleh dalil – dalil tertentu di satu sisi, yang demikian bukan bid’ah.
Kedua; di sisi lain perkara  tersebut tidak punya kaitan dengan dalil sama sekali seperti halnya bid’ah hakikiyah. Bila suatu amal perbuatan memiliki dua makna yang rancu sehingga tidak bisa murni, maka disebut dengan bid’ah idhafiyah. Sebab dari satu sisi bisa dianggap sunnah karena berkaitan dengan dalil, tetapi dari sisi  lain disebut bid’ah karena bersandar pada syubhat bukan pada dalil.
Perbedaan antara keduanya dari sisi makna, bahwa secara dasar ada dalil yang membenarkan, tetapi dari segi teknis dan cara serta pelaksanaan tidak ada dalilnya. Padahal perkara itu sangat dibutuhkan karena selalu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah bukan kebniasaan belaka.
Pertama; perkara tersebut dikuatkan oleh dalil – dalil tertentu di satu sisi, yang demikian bukan bid’ah.
Kedua; di sisi lain perkara  tersebut tidak punya kaitan dengan dalil sama sekali seperti halnya bid’ah hakikiyah. Bila suatu amal perbuatan memiliki dua makna yang rancu sehingga tidak bisa murni, maka disebut dengan bid’ah idhafiyah. Sebab dari satu sisi bisa dianggap sunnah karena berkaitan dengan dalil, tetapi dari sisi  lain disebut bid’ah karena bersandar pada syubhat bukan pada dalil.
Perbedaan antara keduanya dari sisi makna, bahwa secara dasar ada dalil yang membenarkan, tetapi dari segi teknis dan cara serta pelaksanaan tidak ada dalilnya. Padahal perkara itu sangat dibutuhkan karena selalu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah bukan kebniasaan belaka.
Bid’ah Idhafiyah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Lebih dekat dengan bid’ah hakikiyah sehingga masuk pada perkara bid’ah secara hakiki.
Kedua: perkara yang jauh dari bid’ah hakikiyah hingga bisa masuk dalam kategori sunnah biasa.
Contoh pertama: Ada seorang mukallaf yang memiliki dua cara dalam beribadah untuk akhirat, salah satunya gampang dan yang lain susah tetapi keduanya memiliki harga yang sama. Namun orang yang berlebihan pasti akan memilih jalan susah, maka ia memilih pakaian dan  makanan yang tidak bagus hanya karena sikap berlebihan.
Contoh tipe pertama: Asal ibadah dianjurkan, tetapi sudah keluar dari rel asalnya ketika menambah sesuatu dalam ibadah dengan menyangka bahwa perbuatanya itu dibenarkan oleh dalil yang diproduksi akalnya. Contohnya seperti orang yang mengkhususkan hari tertentu dengan shalat, sedekh atau qiyamul lail dengan rakaat tertentu. Bila amalan atau pengkhususan itu bukan ketepatan atau tujuan untuk mengisi kekosongan maka bisa disebut syari’at baru.
Contoh tipe kedua: Asal usul amalan dianjurkan tetapi menjadi bid’ah karena untuk menghindari kebid’ahan, seperti orang yang tidak pernah meninggalkan sunnah biasa dan menjadikan laksana sunnah rawatib, boleh jadi dilakukan terus menerus atau dilakukan pada waktu tertentu dengan cara tertentu seperti melakukan shalat sunnah dengan berjamaah dalam suatu masjid, tempat shalat fardlu selain bulan Ramadhan atau tempat – tempat lain yang digunakan untuk shalat sunnah rawatib. Maka ini adalah bid’ah.
a.      Bid’ah Adat dan Bid’ah Ibadah
Bid’ah yang berhubungan dengan perbuatn hamba terbagi menjadi bid’ah adapt dan bid’ah ibadah.
Bid’ah ibadah berkaitan dengan jenis ibadah. Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ialah segala sesuatu yang yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan dan perbuatan zhahir maupun batin.
Bid’ah adat berkaitan dengan adapt kebiasaan, yang menurut Syaikh Ali Mahfudz adapt kebiasaan ialah segala sesuatu yang bukan diamksudkan untuk taqarrub ( penghambaan ) kepada Allah. Aslinya bukan bernilai ibadah, hanya saja mungkin bisa bernilai taqarrub karena factor luar yang tidak lazim. Jadi, segala aktifitas yang berkaitan dengan usaha manusia untuk meraih keuntungan dunia seperti akad dan transaksi kepemilikan masuk dalam adapt kebiasaan.
Tidak diragukan bahwa bid’ah dalam masalah ibadah sangat mungkin terjadi, karena ibadah kadang berkaitan dengan amalan hati dan keyakinan serta gerakan tubuh berupa ucapan dan tindakan. Baik amalan hati atau gerakan tubuh bisa kemasukan bid’ah seperti kelompok Qadariyah, Murji’ah, Khawarij, Muktazilah dan kelompok yang suka menghalalkan segala cara dalam memnuat bentuk dan praktek ibadah, tanpa ada contoh sebelumnya dan tanpa memiliki rujukan dalil kaidah.
Masalah bid’ah adapt, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama diantaranya Al- Izz bin Abdus Salam dan muridnya Al-Qarafi mengatakan bahwa bid’ah bisa masuk kepada adapt kebiasaan secara mutlak, sebab syariat telah dating kepada manusia membawa konsep lengkap untuk semua maslahat kehidupan. Sehingga membuat bid’ah dalam adapt kebiasaan sama seperti membuat bid’ah dalam ibadah, maka bid’ah sangat mungkin masuk dalam kedua masalah diatas.
Sebagian lain menyatakan bahwa bid’ah tidak bisa masuk dalam masalah adapt kebiasaan secara mutlak, hanya khusus dalam masalah ibadah.
Jika perkara bid’ah masuk dalam adapt kebiasaan berarti seluruh masalah yang tidak ada pada zaman genersi pertama, baik  yang berkaitan dengan kebiasaan makan, minum, berbicara dan kasus – kasus serta penemuan baru masuk dalam bid’ah. Jelas ini suatu hal yang sangat menyusahkan karena sarana kehidupan sangat dinamis dalam setiap kondisi dan tempat.
Imam Syathibi merinci bahwa bid’ah tidak masuk dalam adapt kebiasaan, kecuali bida mengandung makna ibadah karena setiap kebiasaan yang mengandung makna ibadah yang terikat dengan dalil, maka bagi seorang mukallaf harus mengikutinya, sehingga bid’ah masuk dalam kebiasaan hanya lewat situ saja.
Beliau menegaskan, menurut kaidah syariat setiap kebiasaan tidak lepas dari nilai ibadah. Sebab sesuatu baik berupa perintah atau larangan yang maknanya tidak bisa dicerna oleh akal pikiran secara rinci, maka masuk dalam masalah ibadah dan segala pekerjaan yang bisa dicerna akal sehat  dan diketahui maslahat dan madharatnya itulah yang dimaksud dengan adapt kebiasaan. Masalah thaharah, shalat, puasa dan haji semuanya masuk dalam masalah ibadah. Adapun jual beli, nikah, talak, sewa – menyewa, hokum jinayat semuanya masuk dalam kebiasaan  karena punya makna yang mampu dicerna oleh akal. Tetapi perkara itu juga mengandung unsure ibadah, sebab masih ada kaitan dengan dalil syar’I dan mengikat seorang mukallaf baik putusan wajibatau memilih, karena pilihan dalam masalah ibadah tetap memiliki keterikatan seperti halnya suatu putusan. Bila demikian, maka sangat mungkin perkara bid’ah masuk dalam masalah adapt kebiasaan, tetpi hanya terbatas sisi tertentu yang memiliki nilai ibadah tersebut.
Demikian perbedaan ulama tentang masuknya bid’ah dalam adat kebiasaan, masing – masing melihat dari sudut pandang tertentu yang melupakan sisi lain. Dengan demikian terdapat titik temu diantara dua pendapat diatas. Di akhir pembahasan masalah ini Imam Syathibi berkata,”  Asalnya perkara bid’ah tidak masuk dalam masalah adapt kebiasaan, bila semata – mata dipandang sebagai adapt kebiasaan. Kecuali bila diposisikan sebgai ibadah atau menjadi kebiasaan yang dilazimkan, pada saat itu bid’ah bisa masuk dalam kebiasan. Dengan demikian, terdapat titik temu dari dua pendapat, sehingga menjadi satu madzhab.”
c.     Bid’ah Fi’liyah dan Bid’ah Tarkiyah
Adapun bid’ah fi’liyah adalah mengerjakan suatu ajaran yang tidak dianggap agama sebagai tuntunan. Kebanyakan bid’ah muncul dari jenis ini. Contohnya membuat hadits palsu dan menambah ajaran yang bukan dari agama, seperti menambah rakaat dalam shalat, menambah hari dalam puasa atau shalat, puasa pada waktu terlarang atau memasukkan ajaran yang bukan dari bagian agama baik berupa pemikiran atau perbuatan.
Saya tidak menemukan definisi bid’ah tarkiyah tetapi harus tetap diberi batasan batasan makna agar menjadi jelas. Menurut saya bid’h tarkiyah adalah, meninggalkan sesuatu yang mubah atau anjuran yang bersifat wajib atau sunnah dengan disertai Istihsan ( angapan baik ).
Berarti bukan bid’ah fi’liyah, jika meninggalkan suatu yang makruh atau yang haram, sebab bukan suatu hal keharusan dan  berpahala, serta bukan meninggalkan sesuatu karena malas atau yang lain karena meninggalkan kewajiban karena malas, sebab malas adalah maksiat. Dan maksiat bukan perkara bid’ah, dengan demikian boleh meninggalkan perkara yang bersifat sunah apalagi yang mubah. Begitu juga orang yang meningalkan perintah karena udzur sakit atau yang lain bukan hal yang bid’ah meskipun meninggalkan yang wajib.
Contoh bid’ah tarkiyah yang berkaitan dengan perkara mubah, menghindari jenis makanan tertentu yang mubah dengan menganggap bagian dari ibadah karena dalam hadits yang diriwayatkan At – Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki – laki mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata,” Wahai Rasulullah bila saya makan daging, maka saya tertarik dengan wanita lalu aku tergoda oleh nafsuku sehingga aku mengharamkan daging bagi diriku, maka turunlah firman Allah,
 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “ ( Q.S. al Mâidah ( 5 ) : 87 )
Contoh bid’ah tarkiyah yang berkaitan dengan perkara sunnah seperti meningalkan shalat sunnah, siwak, sedekh atau yang semisalnya. Bila ditinggalkan terus menerus dengan disertai anggapan baik maka termasuk perkara bid’ah
Adapun contoh bid’ah tarkiyah yang berkaitan dengan perkara wajib seperti meninggalkan shalat fardlu, zakat, puasa dan haji dengan disertai anggapan bahwa tindakan meninggalkan hal itu baik, dan diyakini sebagai suatu ajaran. Sebagaiman anggapan sebagian ahli kebatinan yang menyangka bahwa bila ia sampai pada maqam atau posisi tertentu, maka syari’at sudah tidak berlaku bagi dirinya.
d.      Bid’ah I’tiqadiyah dan Bid’ah Amaliyah
Bid’ah I’tiqadiyah ialah suatu I’tiqad yang berlawanan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah  Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya Radliyallahu Anhum, baik yang bersangkutan mengamalkan atau tidak.
Contohnya bid’ah kelompok Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah dan Murji’ah.
Adapun bid’ah Amaliyah adalah mengamalkan ajaran yang tidak dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, setiap ajaran yang tidak ada ketentuanya baik yang bersifat wajib atau sunnah termasuk bid’ah.
Macam – macam bid’ah amaliyah:
Pertama: Bid’ah tambahan dalm jenis ibadah, seperti tambah satu raka’at dalam shalat zhuhur dan ashar.
Kedua: Bid’ah tambahan dalam cara pelaksanaan ibadah yang dikerjakan dlam tanpa menggunakan petunjuk, seperti berdzikir berjamaah setelah shalat fardlu.
Keemnpat: Bid’ah pengkhususan waktu ibadah seperti mengkhususkan malam pertengahan Sy’aban dan Qiyamullail. Asalnya puasa dan shalat dianjurkan, tetapi pengkhususan pada waktu tertentu butuh suatu dalil
e.       Bid’ah Kulliyah dan Bid’ah Juz’iyah
Bid’ah Kulliyah menurut Imam Syathibi ialah, munculnya kerancauan dalam syari’at secara umum disebabkan oleh suatu bid’ah seperti bid’ah menganggap baik dan buruk terhadap sesuatu dengan ukuran akal, bid’ah pengingkaran terhadap sunnah dan cukup mengambil Al- Qur’an serta bid’ah firqah Khawarij yang berkata bahwa tidak berhukum kecuali hokum Allah.
Bid’ah yang menimbulkan kerancuan pada sebagian cabang agama seperti bid’ah Tatswib  dalam azan shalat dan bid’ah adzan dan iqamah pada shalar Idul Fithri dan Idul Adha dan semisalnya.
Bid’ah semacam ini tidak ada keterkaitan dengan cabang lain dan tidak bisa dijadikan landasan pengkiasan.
f.       Bid’ah Basithah dan Bid’ah Murakkabah
Bid’ah Basithah adalah penyelewengan ringan pada sisi cabang agama, yang tidak menimbulkan ekses pada masalah lain, seperti orang yang menyambung antara shalat sunnah dengan shalat fardlu tanpa ada pemisah, baik berupa bacan tasbih atau perbuatan yang semisalnya.
Bid’ah murakkabah adalah mendahulukan akal diatas nash dalam menarik kesimpulan dalil, beranggapan bahwa sebagian tokoh sufi mempunyai ilmu laduni, membuat takwil nash yang keluar dari petunjuk dan makna yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya seperti takwil terhadap asma dan sifat – sifat dan takwil sesat lainya. Dan cara itu menjadi sarana musuh Islam untuk menghancurkan agama, yang diwakili kaum zindiq dan ateisme.
g.      Bid’ah Mukaffirah dan Bid’ah Ghoiru Mukaffirah
  Bid’ah yang merusak ajaran Islam terbagi menjadi dua. bida’ah mukaffirah dan bid’ah ghairu mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah pengingkaran ijma’ ulama yang dikenal dengan mudah oleh orang awam seperti penolakan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib atau mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, atau menibatkan apa – apa yang tidak layak bagi Allah yang sudah menjadi ketetapan Allah dan Rasul-Nya serta Kitab-Nya dengan penafian dan penetapan, karena termasuk pendustaan terhdap agama.
Sebagaimana bid’ahnya kelompok Jahmiyah dalam mengingkari sifat Allah, dan pernyataan mereka bahwa Al-Qur’an dan semua sifat Allah adalah makhluk serta mengingkari bahwa Allah mengambil Ibrahim sebagai Khalil ( kekasih ) dan Allah mengajak nabi Musa. Begitu juga bid’ahnya kelompok Qadariyah yang menafikan ilmu, perbuatan, putusan Allah dan ketetapan Allah dalam masalah taqdir. Bid’ahnya kelompok Mujassimah ( ingkarnasi ). Intinya ingin mengharcurkan Islam, sehingga bisa dipastikan kekafiran kelompok tersebut, bahkan mereka jauh dari Islam dan musuh agama paling utama, tetapi mereka bisa divonis kufur setelah ditegakkan  hujjah.
Adapun bid’ah ghoiru mukaffirah ialah segala bid’ah yang tidak mengandung unsure pendustaan terhadap Al- Qur’an dan ajaran yang dibawa oleh para Rasul, bahkan bid’ah itu muncul dari takwil dengan dasar nafsu belaka dan bid’ah itu tidak sama derajat kesesatanya.
Imam Asy –Syathibi menyebutkan bahwa tingkatan bid’ah terbagi menjadi bid’ah besar dan bid’ah kecil. Lalu beliau menuturkan bahwa kesimpulan yang mendekati kebenaran dari kitab Muwâfaqât adalah bid’ah besar berkisr pada masalah yang membuat  rusaknya lima hal pokok dalam setiap agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Setiap nash semuanya merujuk untuk menjaga maslahat lima perkara tersebut dan suatu yang tidak ada nashnya masuk secara implisit dengan ijtihad. Semua usaha para ulama tidak lain hanya untuk memelihara hal tersebut, maka setiap bid’ah yang membuat pondasi agama cacat masuk dalam bid’ah besar bila tidak maka masuk dalam bid’ah kecil.
Jadi, semua bid’ah yang mengingkari perkara agama yang dikenal oleh semua orang, maka termasuk bid’ah mukaffirah. Dan bila muncul dari pentakwilan, maka termasuk bid’ah ghoiru mukaffirah namun masih berbeda – beda. Bila bersinggungan dengan masalah lima pokok agama, maka termasuk bid’ah besar. Bila tidak, termasuk dalam bid’ah kecil. Tetapi hal ini permanent, bahkan terkadang berbeda – beda sesuai perbedaan kondisi bid’ah, baik dari sisi ilmu, kebodohan atau dari sisi komitmen dan tidaknya. Sehingga bisa saja bid’ah kecil berubah menjadi besar, atau bid’ah yang ghoiru mukaffarah berubah menjadi bid’ah  menjadi bid’ah mukaffarah.
         Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari al – Imam Syafi’i.Ibn Abdilbarr, ibnu al-Arabi, Ibn Atsir, Izzuddin ibn Abdissalam, al- Nawawi, al- Hafizh Ibnu Hajar, al- ‘Aini, al-Shan’ani, al-Syaukani dan masih banyak  ulama – ulama lain yang tidak dikutip disini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Bahkan lebih rinci lagi, bida’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hokum-hukum yang berlaku dalam agama

DAFTAR  PERPUSTAKAAN
An – Nawawy, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarif, Riyadhus Sholihin Min Kalami Sayyid al Mursalin, Syarkat Nur Asia, tanpa keterangan
Al Muqaddasy,Muhammad Ilmy Zada Faidhullah al husainy,Fathur Rahman Lithalibi Ayatil Qur’an,Maktabah Dahlan Indonesia,tanpa keterangan
Abdul Wahhab Khalaf, Prof.DR, Khulashah Tarikh Tasyri’ Islami ( Terjemahan K.H.Abdul Aziz Masyhuri ) , Ramadhani Solo, tanpa keterangan
Al Ghazali,Abu Hamid Muhammad bin Muhammad,Ihyaulumiddin,Usaha Keluarga Semarang,tanpa keterangan
Amar Faqih, K.H. Jadilah Mukmin Sejati ( terj. Hidayatul Ummah oleh H.Bey Arifin ), P.T.Bina Ilmu Surabaya, tanpa keterangan,
Al Jawy,Muhammmad Nawawi bin Umar,Syaikh,Murah Labid li Kasyfi Ma’na Qaur’ Majid ( Tafsir Munir ) Usaha Keluarga Semarang tanpa keterangan
Al- Maliki, Ahmad Shawy, Hasyiyah al Alamah al –Shawy ala Tafsir al Jalalaini, Maktabah Darul Ulum Indonesia, tanpa keterangan
Ahdjad,Nadjih,K.H,Tarjamah Al Jami’ush Shagier,P.T.Bina Ilmu Surabaya,cetakan 2004
Ahdjad,Nadjih,K.H,Kitab Janazah Tuntunan Menyelenggarakan Janazah Menurut Sunnah Rasulullah,Bulang Bintang Jakarta,Cetakan II,Tahun 1991
Ali Ma’shum,K.H,Hujjatu Ahli al Sunnah wa al Jama’ah,Ibnu Masyhadi Sampangan Pekalongan,tanpa keterangan
Abdusshomad,Muhyidin,K.H.Fiqh Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari,Pustaka Bayan-Nurul Islam –Khalista Surabaya,Cetakan III 2005
Abdusshomad,Muhyidin,K.H,Tahlil Dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Bayan-Nurul Islam –Khalista Surabaya,Cetakan III 2005
Al Hasany,Muhammad bin Alwi Al Maliki,Syaikh, Mafahim Yajibu An Tushsshhahah,Darul Insan Kairo Mesir,cetakan I,1985
Alwi,Muhammad Bashori,K.H,Selamatan dan Tahlil Untuk Mayit,Thoyyibah Lawang Malang ,cetakan II,1979
Abdul Manan, Imron,Drs,Kupas Tuntas Maslah Peringatan Haul, Sebuah Upaya Otokritik dari Kalangan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah,Al-Fikar , cetakan 2005
Abdul Manan, Imron,Drs, Kupas Tuntas Maslah Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Al-Fikar , cetakan 2005
At Taimy,Syaikh Abu Umar Shalih bin Ali al Musnad, Ziarah Kubur Yang dicontohkan Rasulullah saw,At Tibyan Solo,cetakan I,Tahun 1997
Abu Amar,Imron,Drs.H,Sebuah Jawaban Bahwa Kitab Manakib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Tidak Merusak Aqidah Islmiyah,Menara Kubus, Cetakan I,1989
Abu Amar,Imron,Drs.H, Peringatan Haul Bukan Ajaran Islam adalah Pendapat yang sesat, Menara Kubus, Cetakan I,1995
Asmuni,K.H.A.Yasin,Tahlil dan Fadlilahnya, PP.Hidayatut Thulab Prtuk Semen Kediri,cetakan I,2007
Asmuni,K.H.A.Yasin,Istighatsah Sebagai Jalan Pintas Dikabulkan Do’a PP.Hidayatut Thulab Petuk Semen Kediri,cetakan I,2007
Ahmad Murtadlo Hasabu, Sekilas Kisah Simbah Kyai Raden Santri dan Tatacara Ziarah Kubur, Yayasan K.R.Santri Puroloyo Gunungpring Muntilan,tanpa keterangan
Ahmad Talkhish Abdur Rosyid, Jami’ush Shalawat Wa Khashiyatuha, Andalas Surabaya, tanpa keterangan
Ahmad Subki Masyhadi, K.H, Kebenaran Argumentasi Ahlussunnah Wal Jamaah, Udin Putra Pekalongan, cetakan I, 1983
’Alaudiin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir Al-Khazib, Lubab  Al- Ta’wil  Fi Ma’ani Al-Tabzil Juz II, Darul Fikr Beirut, 1979 M / 1399 H
A’id Al- Qarni,Muhammad bin Abdurrahman Al –Uraifi, Muhammad bin Husain Ya'qub,  Malam Pertama Di Alam Kubur, Aqwam Jembatan Ilmu, Solo, Cetakan XI, 2006
Bahauddin bin Abdulloh Ibnu ‘ Aqil, Syarh Ibnu Aqil, Syarkat al-Ma’arif Bandung, tanpa keterangan
Bashori Alwi,K.H, Selamatan dan Tahlil Untuk Mayit, Thoyyibah Singosari Malang, cetakan I,1979
Dahlan, Bukhori,K.H,Petunjuk Praktis Ziarah Walisongo,Penduan Lengkap Ziarah Kubur Walisongo,Karya Agung Surabaya,Cetakan I, 2005
Hasan al Bana, Al-Aqaid, Dar Fikr al Arabi Koiro Mesir, cetakan I, 1371 H
Hartono Ahmad Jaiz,Tasawwuf Belitan Iblis, Darul Falah Jakarta,Cetakan V,2005
Ibnu Hajar al-Asqalani,Fathul Bari Juz XII,, Mushthafa Babil Halaby Koiro Mesir, etakan tahun 1959
Jalaluddin Abdurrahman bi Abi Bakar as – Suyuthi, al – Jami’ al- Shagier fi Ahaaditsi al Basyir al-Nadzir, Syarkat Nur Asiya , tanpa keterangan
Jalaluddin Abdurrahman bi Abi Bakar as – Suyuthi, al – Itqan fi Ulum al Qur’an , Mushthafa Babil Halabi Mesir,tanpa keterangan
M.Ali Hasan,Drs.H, Bagaimana Sikap Muslim Menghadapi Masalah Khilafiyah, Bulan Bintang Jakarta, Cetakan IV,1982
Mahrus Ali,H, Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali, La Tasyuk Press Surabaya, cetakan I, 2008.
Mushthafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir al Bukhari, Al Istiqamah Koiro Mesir, Cetakan VII, 1371 H
Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi Dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salaf,Khalista Surabaya,Cetakan I,2010
Sayid Sabiq,Aqidah Islam,CV Diponegoro  Bandung,Cetakan VII Tahun 1986
Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman bin  Muhammad bin Abi Bakr al- Sakhawi, Al- qawl al Badi' fi al Shalat 'ala al Habib al Syafi',Maktabah Ilmiyah Madinah,cetakan 1977
Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik ( H.Mahrus Ali ), Al-Bayan – Khalista, Surabaya, cetakan II, 2008
Tim Penyusun Buku Agama PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, Pendidikan Aswaja Ke-Nu-an, PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, Cetakan 2002
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja an Nahdliyah Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang berlaku di Lingkungan Nahdlotul Ulama.  LTN -NU Jawa Timur,Cetakan I,2007
Umar,M.Ali Chasan,Kumpulan Shalawat Nabi Lengkap Dengan Khasiatnya, C.Thoha Putra Semarang,tanpa keterangan
Yusuf Muhammad,K.H,Lc, Ukhuwah Islamiyah Dalam Keberagaman Wawasan  Islam ( Makalah Seminar Sehari tentang Citra Generasi Muda Islam Membangun  Masa Depan Umat pada tanggal 6 Janusri 1991 di Pendopo Pembantu Bupati di Sidayu Gresik
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Lubuk Agung Bandung, tahun 1989




1 comment:

  1. Mungkin tulisan ini bisa memperjelas:
    https://tulisansulaifi.wordpress.com/2016/10/28/sunnah-tarkiyah-dan-bidah-idhafiyah-menurut-ulama-syafiiyah/
    barakallah fiikum

    ReplyDelete