Saturday, December 8, 2012

Bid'ah Hasanah



BID’AH  HASANAH

Sebenarnya, meskipun sebagian umat Islam ada yang menganggap bid’ah diantara sebagian amalan –amalan  kita, tentunya kita  tidak perlu risau. Kita contohkan disini seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Isra’ Mi’raj, Nishfu Sya’ban walaupun ada yang menganggap sebagai bid’ah, sekali lagi   kita tidak perlu risau dengan adanya anggapan itu. Dan kita pun tidak perlu bersusah payah membuang – buang energi hanya untuk berdebat maengenai kedudukan hukumnya. Mengingat kegiatan tersebut bukanlah termasuk syari’at, hanya suatu tradisi baik dari umat Islam yang dapat dilestarikan untuk diambil manfaatnya.  Dan pada hakikatnya kegiatan ini hanyalah sebagai sarana mengumpulkan umat Islam untuk bersama- sama mengkaji ilmu. Jadi,  yang terpenting adalah berkumpulnya umat Islam dalam momen itu untuk mengkaji ilmu pengetahuan yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.
Kita berbangga hati menyaksikan semaraknya kegiatan pengkajian keislaman di berbagai tempat, khususnya di Indonesia. Semaraknya pengajian itu bisa kita saksikan pada berbagai acara seminar, lokakarya, diskusi, bedah buku, dan sebagainya yang diselenggarakan dalam momen – momen tertentu, termasuk juga dalam pengkajian masalah Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj,Nishfu Sya’ban yang khusus diselenggarakan dalam memperingati peristiwa – peristiwa tersebut.
Peringatan hari- hari besar Islam, termasuk di dalamnya pengajian dalam rangka peringatan Maulid Nabi,Isra’ Mi’raj dan Nishfu Sya’ban rupanya sudah menjadi tradisi tahunan, baik di selengarakan oleh warga masyarakat muslim, perusahaan, oraganisasi sosial kemasyarakatan, dan intansi pemerintah. Peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan Nuzul al Qur’an di Negara kita malah mendapatkan  keistimewaan  khusus dari pemerintah Republik Indonesia disamping hari besar Islam lainya. Penyelengraan peringatan hari besar Islam, termasuk Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj  dan Nuzul al Qur’an tidak saja diselenggarakan di kota besar tetapi juga merambah hingga desa terpencil. Bahkan khusus peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Qur’an diadakan pula di Istana Negara  dan Masjid Istiqlal Jakarta, yang secara langsung disiarkan melalui media elektronik, dimana dalam peringatan ini senantiasa dihadiri oleh Presiden dan pejabat tertinggi dan tinggi Negara lainya.
Telah menjadi kebiasaan kita, berkumpul untuk menghidupkan sejumlah peristiwa bersejarah, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nishfu Sya’ban,Nuzulul Qur’an, Hijrah Nabi, dan sebagainya. Ditinjau dari hukum Islam, kata Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki,  perkara ini tidak ada hubunganya dengan syari’at Islam karena perkara ini adalah masalah adat kebiasaan. Oleh karena itu, perkara ini tidak dikatakan telah disyari’tkan atau merupakan sunnah sebagaimana juga ia tidak bertentangan dengan suatu prinsip dari ptinsip – prinsip agama. Karena, yang berbahaya adalah adalah bila seseorang meyakini disyari’atkanya suatu perkara, padahal ia tidak disyari’atkan. Menurut saya, hal – hal yang merupakan adat kebiasaan seperti ini tidak bisa dikatakan lebih disukai atau di benci oleh syari’at. Saya kira ukuran ini telah disepakati. Sebagian orang telah menyatakan bahwa peristiwa – peristiwa ini dimana orang – orang berkumpul untuk menghidupkanya itu menjadi berkurang artinya dengan ditentukanya secara tepat waktu yang disepakati. Mereka mengatakan demikian. Sesungguhnya orang – orang membiasakan diri berkumpul pada malam dua puluh tujuh untuk memperingati Isra’ Mi’raj, mereka berkumpul  pada malam dua belas Rabi’ul Awal untuk menghidupkan kelahiran Nabi Saw, padahal para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kejadian ini secara tepat. Terhadap anggapan demikian, saya berpendapat sebagai berikut: Sesungguhnya tidak adanya  kesepatakan dalam penentuan waktu tidak berpengaruh, karena kita tidak berkeyakinan disyari’atkanya penentuan berkumpulnya itu dengan waktu tertentu, melainkan hanya merupakan kebiasaan sebagaimana kami telah terangkan diatas. Yang terpenting bagi kita adalah menggunakan kesempatan berkumpul untuk mengusahakanya ke arah kebaikan. Sehingga, pada malam – malam ini orang – orang berkumpul didalamnya dalam jumlah yang besar, sama saja apakah benar atau salah waktunya. Karena, tujuan berkumpulnya mereka semata – mata untuk mengingat Allah dan mencintai Rasulullah adalah cukup untuk mendapatkan rahmat dan karunia-Nya.
Sesungguhnya saya benar – benar berkeyakinan bahwasanya berkumpulnya orang – orang itu selama mereka berkumpul karena Allah ( lillah ) dan pada jalan Allah ( fillah ) , maka berkumpulnya mereka diterima  disisi Allah walaupun salah dalam menentukan waktunya. Saya akan memberikan contoh mengenai hal itu untuk mudah difahami oleh akal, yaitu seseorang yang mengundang suatu pesta pada hari yang ditentukan. Kemudian sebagian undangan datang  bukan pada waktunya karena menyangka bahwa itulah waktunya. Lalu bagaimana menurut Anda, apakah si pemilik resepsi itu akan mengusir atau menolak mereka dengan kasar dan keras serta menghalangi mereka seraya menyatakan,” Pulanglah dan pergilah kalian, karena waktu ini bukanlah waktu resepsi dimana saya undang kalian dan saya tentukan waktunya” ataukah menurut Anda ia akan menyambut mereka dengan baik, mengucapkan terimakasih kepada mereka atas kedatangan mereka, membukakan pintu buat mereka, meminta mereka masuk, dan mengharapkan mereka untuk datang pada kesempatan lain dalam waktu yang ditentukan ? Inilah yang dapat saya ilustrasikan dan itulah yang sesuai dengan karunia Allah dan anugerah-Nya.
Jika kita berkumpul untuk memperingati Isra’ Mi’raj atau kelahiran Nabi dan peringatan apapun dari peringatan – peringatan yang bersejarah, maka tidak penting bagi kita masalah penentuan  waktu yang tepat. Karena, jika waktunya sesuai dengan kejadian dan waktu yang sebenarnya, maka al-hamdulillah. Tetapi jika tidak, maka sesungguhnya Allah SWT tidak menolak kita dan tidak mengunci pintu rahmat-Nya buat kita.
Oleh karena itu, menggunakan kesempatan berkumpul dengan berdo’a, mengarahkan diri kepada Allah, dan bertrujuan untuk mendapatkan anugerah – anugerah-Nya, kebaikan – kebaikan-Nya, dan keberkahan – keberkahan-Nya menurut saya adalah lebih besar daripada manfaat peringatan itu sendiri. Menggunakan kesempatan berkumpulnya orang – orang dengan mengingatkan mereka, membimbing mereka, menasehati mereka, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan adalah lebih baik daripada menghalangi dan menolak mereka, serta menyalahkan berkumpulnya mereka dengan sesuatu yang tidak ada gunanya, karena sebagaimana yang dapat disaksikan, hal itu tidak bermanfaat dan  tidak berfaedah. Kedatangan mereka dan  berpegang teguhnya mereka akan semakin bertambah setiap kali bertambah pengingkaran ( penyalahan ) terhadap mereka atau bertambah keras, hingga seolah – olah orang yang melarang mereka seperti orang yang menyuruh mereka untuk mengerjakan tanpa ia sadari.
Sesungguhnya orang- orang yang berakal, yang mempunyai pikiran dan suka mengajak orang, berharap mendapat tempat dimana orang – orang di dalamnya bisa berkumpul agar mereka menggunakan pikiranya dan membawa mereka pada kesucian.
Karenanya, Anda melihat mereka mendatangi taman – taman, lembah – lembah, dan tempat – tempat umum yang didalamnya orang – orang bisa berkumpul untuk mengerjakan apa yang mereka inginkan. Dan kita melihat umat berkumpul dalam peristiwa – peristiwa tertentu dengan gembira, bersemangat, dan penuh kesungguhan. Lalu apa kewajiban kita pada mereka ?
Sesungguhnya menyibukkan diri dengan menyalahkan, mencela, dan menolak tentang hukum berkumpulnya mereka dan apa saja yang seperti itu, adalah suatu kesia – siaan, bahkan suatu kebodohan. Karena, dengan demikian kita menyia-nyiakan simpanan yang besar dan meluputkan suatu kesempatan yang baik dimana kita tidak mendapatkannya kecuali dalam kesempatan – kesempatan seperti ini.
Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan pertemuan – pertemuan yang besar seperti ini. Tidak usah kita menghiraukan, apalagi risau dengan tuduhan bid’ah, syirik, dan sebagainya dengan alasan bahwa kegiatan – kegiatan semacam itu belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw, zaman shahabat maupun tabi’in. Masalahnya adalah apa yang kita lakukan itu jelas – jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan  karena itu maka kegiatan atau amalan tersebut meskipun dikatakan bid’ah tetapi tidak termasuk bid’ah yang dilarang oleh agama Islam
Sesungguhnya bid’ah yang terlarang itu hanyalah bid’ah dalam keagamaan. Adapun dalam urusan keduniaan tidak bid’ah yang terlarang; kita boleh mengadakan dan membuat sesuatu walaupun belum ada atau belum dibuat pada masa Nabi Muhammad saw, pada masa shahabat atau pada masa tabi’in, asalkan perbuatan itu baik dan tidak bertentangan  dengan hukum agama, dan juga tidak dilarang oleh hukum agama.
Dapat dicontohkan disini, seperti membangun masjid dari batu beton, mengumandangkan azan memakai sound system  atau pengesar suara, merekam bacaan al – Qur’an  dengan caset atau CD, memakai sarung, baju koko, peci hitam, berdzikir memakai tasbih, , mengendarai mobil atau  sepeda motor, berkomunikasi memakai telpon atau HP, internet dan sebagainya, kesemuanya itu walaupun belum ada pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi kita diberi izin membuatnya karena masalah ini adalah termasuk masalah keduniaan dan disesuaikan pula  dengan masalahat yang dibutuhkan manusia yang hidup di zaman modern dan dia era globalisasi ini.
Namun dalam masalah ibadah makhdlah, seperti shalat lima waktu diubah menjadi empat, puasa Ramadlan dibuat menjadi empat puluh empat hari, zakat diubah menjadi tidak wajib bagi orang yang mampu, ibadah haji dipindahkan ke tempat lain, mengakui adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw, maka semuanya itu bid’ah karena jelas – jelas dilarang oleh agama.
Dan selanjutnya supaya kita tidak mudah goyah, resah gelisah atau susah terhadap berbagai tuduhan itu, tentunya kita harus mengetahui dengan jelas apa sesungguhnya hakikat bid’ah itu dalam pandangan agama Islam.
Menurut Muhammad Idrus Ramli, “Sesungguhnya hadits yang menyatakan,” Semua bid’ah itu sesat “ adalah  redaksi general yang maknanya terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik ) dan bid’ah sayyi’ah ( buruk ). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hokum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
Dalil – dalil berikut ini akan dibai menjadi dua; dalil – dalil bid’ah hasanah pada masa Rasulullah Saw dan dalil – dalil bid’ah hasanah sesudah Nabi saw wafat
Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah
1.      Hadits Sayyidina Muadz bin Jabal r.a
عَنْ عَبْدِِ الرَحْمٰنَ بْنِ أَبى لَيْلِِى قَالَ : ( كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْئٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا َاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ قى الصَّلاَةِ ثُمَّ َجاءَ يَوْمًا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْه فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمُ النَّبيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( سَنّ لَكُمْ مُُعَاذً )) وَفِى رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذُِ بْنُ جَبَلٍ (( إِنَّهُ قَدْ سَنّ لَكُمْ مُُعَاذٌ فَهَكَذَ فَأَصْبَعُوْا ) رواه أَبوداود وأحمد وأبن أبى شيبة,وغيرهم ,وقد صححه الحافظ إبن دقيق العيد والحافظ إبن حزم
Abi Abdurrahman bin Abi Laila berkata:” Pada masa Rasulullah Saw bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat shalat berjamaah, maka orang – orang yang lebih dahulu datang  akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang – orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah itu dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah saw selasai shalat, maka Mu’adz segera mengerti rakaat yang tertingal itu. Ternyata setelah Rasulullah Saw selasai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab,” Mu’adz telah memulai yang cara yang baik buat shalat kalian” . Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal , beliau Saw bersabda,” Mu’adz telah memulai yang cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. ( H.R. Imam Ahmad ( 5 / 233 ), Abu Dawud,Ibnu Abi Syaibah dan lain – lain. Hadist ini dinilai Shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id dan al Hafizh Ibn Hazm al – Andalusi )
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, nabi Saw tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata,” Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku ?   bahkan beliau membenarkanya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan kaedah berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam


2    Hadits Sayyidina Bilal
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنّ نَبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَ لٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: (( يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِى بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِى اْلإسْلاَمِ فَإِنِّى سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِى الْجَنَّةِ )) قَال: مَاعَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِى مِنْ أَنِّى لَمْ اَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِى سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَاكُتِبَ لِى .وَفِى رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَ لٍ (( بِمَ سَبَقَتَنِى إِلَى  الْجَنَّةِ ؟ قَال: مَاأَذَنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَاأَصَابَنِى حَدَثٌ إِلاَّ تَوَضّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ لِلّٰه ِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( بِهِمَا )) أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ)) رواه البخارى ومسلم
 “ Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar:” Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga ?” Ia menjawab:” Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’ baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkanya dengan shalat sunat dua rakaat  yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau berkata kepada Bila: “ Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga ? “ Ia menjawab:” Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua rakaat setelahnya, dan aku belum pernah berhadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi Saw bersabda:” Dengan kedua kebaikan itu, kamu meraih derajat  itu “ ( H.R.al Bukhari dan Muslim )
Menurut al-Hafizh Ibn  Hajar dalam Fath al Bari ( 334 ), hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi Saw pun membenarkanya. Nabi saw belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selasai berwudhu atau setiap selasai adzan, akan tetapi Bilal melakukan atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi Saw. Ternyata Nabi Saw membenarkanya, bahkan memberikan khabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selasai wudhu menjadi sunnah bagi seluruh ummat.
3        Hadits Ibnu Abbas ra.
عَنْ  سَيِّدِنَا ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ:  أَتَيْتُ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى آخِرِ الَّيْلِ فَصَلّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِى حَتَّى جَعَلَنِى حِذَاءَهُ فَلَمّا أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاَتهِ خَنِسْتُ فَصَلَّى رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفْتُ قَالَ: ( مَاَ شَأْنُكَ ؟ أَجْعَلُكَ حِذَاءِى فَنَخْنَسُ ) فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ أَوَ يَنْبَغِى لإَِحَدِ أَنْ يُصَلِّيَ بِحِذَائِكَ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللّٰهِ الَّذِى أَعْطَاكَ اللٰهُ ؟  قَالَ: فَأَعْجَبَهُ فَدَعَالِى أَنْ يَزِيْدَنِى اللّٰهُ عِلْمًا وَفِقْهًا.رواه أحمد والحاكم وقَال: حديث صحيح على شرط البخارى ومسلم ووافقه الحافظ الذهبى وقال الحافظ الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 9/426 ) : رجاله رجال الصحيح
“ Sayyidina Abbas r.a berkata:” Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku dan menarikku harus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah Saw memulai shalatnya, aku mundur ke belakang, lalu Rasulullah Saw menyelasaikan shalatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata:” Ada apa, aku tempatkan kamu  harus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur ? “ Aku menjawab:” Wahai Rasulullah, tidak selayaknya bagi seseorang shalat lurus  di sebelahmu sedangkan engkau Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah”. Ibnu Abbas berkata:” Ternyata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakan agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertian terhadap agama” ( H.R.Ahmad)
Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibnu Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah Saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau Saw ternyata beliau tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberi hadiah do’a. Dan  seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.
4        Hadits Ali Bin Abi Thalib r.a
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَلِي رَضِيَ اللّٰه ُعَنْهُ قَالَ:  كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ  إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ يَجْهَرُ بقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ  إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةِ وَ هَذِهِ السُّوْرَةِ فَذُكِرَ ذَلكَ لِلنَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ: (( لِمَ تُخَا فِتُ )) قِالَ : إِنِّى أَسْمَعُ مِنْ أُنَاجِى وَقَالَ لِعُمَرَ: (( لِمَ تَجْهَزُ بِقِرَاءَتِكَ )) قِالَ : أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَنَانَ وَفَالَ لِعَمَّارِ: (( لِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ سُّوْرَةِ وَ هَذِهِ السُّوْرَةِ)) قَالَ: أَسْمَعُنِى أَخْلِطُ بِهِ مَالَيْسَ مِنْهُ ؟ قَالَ (لاَ) ثُمَّ فَالَ: (( فَكُلُّهُ طَيِّبٌ )). رواه أحمد, وقال الحافظ الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 9/426 ) : رجاله ثقات
“ Sayyidina Ali r.a berkta:” Abu Bakar bila membaca  al –Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar  apabila membaca al-Qur’an mencampur surat ini dengan surat itu. Kemudian hal ini dilaporkan kepada Nabi Saw, sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar:” Mengapa kamu membaca dengan suara lirih ?” Ia menjawab:”Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar:” Mengapa kamu membaca dengan suara keras ? “ Umar menjawab:” Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk” Lalu bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu membaca dengan surat ini dengan surat itu ?” Ammar menjawab: “ Apakah engkau pernah mendengarku mencampur sesuatu yang bukan al-Qur’an ?” Beliau menjawab:” Tidak”.Lalu beliau bersabda:” Semuanya baik” ( H.R.Ahmad )
Hadits ini menunjukkan bolehnya membut bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga shahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing – masing, sehingga sebagian shahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda – beda , dan ternyata Rasulullah Saw membenarkan dan menilai semuanya baik serta tiada yang buruk. Disini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah Saw pasti buruk atau keliru.
5        Hadits Amru bin Al Ash r.a
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ لَمَّا بُعِثَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ قَالَ: إِحْتَمَلْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ الْبُرُوْدَةِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ فَتَيَمَمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِى صَلاَةَ الصُّبْحِ قَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ( يَاعَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ ) فَقُلْتُ: ذَكَرْتُ قَوْلَ اللّٰهِ تَعَالَى (وَلاَتَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنّ  اللّٰهُ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ) فَتَيَمَمْتُ وَ صَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَّسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًًا. رواه أ بو داود وأحمد والدار قطنى والبيهقى وابن حبان
“ Amr bin al –‘ Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Tsalasil berkata:” Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku pun mandi, tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama shahabat – shahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah Saw mereka melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya: “ Hai Amr , mengapa kamu menjadi imam shalat bersama – sama shahabat – shahabatmu sedang kamu junub ? “ Aku menjawab:” Aku teringat firman Allah:” Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyangg  kepadamu.” ( Q.S.al-Nisa’: 29 ) Maka aku bertayamum dan shalat.” Lalu Rasulullah Saw tersenyum dan tidak berkata apa – apa “ ( H.R.Abu Dawud, Ahmad, dan Daruquthni.Hadits ini dinilai  shahih oleh al-Hafizh al-Dzahabi dan lain–lain )
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. Amru bin al_Ash melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi saw mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkanya. Dengan demikian, tidak ada suatu perkara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan syara’ seperti dalam hadits ini
6        Hadits Umar  Bin Khathab r.ad’ah
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَمَرَ رَضِيَ اللّٰه ُعَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّاسُ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ حِيْنَ وَصَلَ إلَى الصَّفِّ: اللّٰهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَان اللّٰهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلاًَ  فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ: ( مَنْ صَاحِبُ الْكَلِمََاتِ ) قَالَ الرَّجُلُ: أَنَا يَارَسُوْلَ اللّٰهِ,وَاللّٰهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلاَّ الْخَيْرَ قَالَ: ( لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ )  قَالَ ابْنُ عُمَرَ:  فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ. رواه مسلم
‘ Umar r.a berkata; “ Seorang laki – laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf,laki – laki itu berkata:” Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallah bukratan wa ashila”. Setelah Nabi selasai shalat, beliau bertanya:” Siapa yang mengucapkan kalimat tadi ? “ Laki – laki itu menjawab:” Saya, ya Rasulullah. Dan saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu”, Beliau bersabda:” Sungguh aku telah melihat pintu – pintu langit terbuka menyambut kalimat itu”.Aku belum pernah meninggalkanya sejak mendengarnya” ( H.R.Muslim )
7        Hadits Rifa’ah bin Rafi
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّى وَرَاءَ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ ( سَمِعَ اللّٰهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَاوَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمّاانْصَرَفَ قَالَ ( مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ ) قَالَ : أَنَا قَالَ (( رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَ  أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا ) .رواه البخارى
“ Rifa’ah bin rafi’ r.a berkata:” Suatu ketika kami shalat berada di belakang Nabi Saw .Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau bersabda: “ Samiallahu liman hamidah”. Lalu seorang laki – laki di belakangnya berkata:” rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakatan fih”. Setelah selasai shalat, sebaliau bersabda,” Siapa yang membaca kalimat tadi ?” Laki – laki itu menjawab:” Saya” Beliau bersabda:” Aku telah melihat 30 lebih malaikat berebutan menulis pahalanya” (H.R.Bukhari )
Kedua shahabat diatas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi Saw, yaitu menambah bacaan  dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi saw membenarkan penambahan mereka, bahkan memberi khabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka  sesuai dengan syara’, dimana di dalam i’tidal  dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al- imam al- Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany menempatkan dalam kitab Fath al Bari( 2/267 ), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur ( datang dari Nabi Saw ) dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
B.     Bid’ah Hasanah Stelah Rasulullah saw Wafat
1        Penghimpunan Al Qur’an menjadi Satu Mushaf
جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ إِلَى سَيِّدِنَا أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يَقُوْلُ لَهُ: يَاخَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِى الْقُرَّا ءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْاٰنَ فى مُصْحَفِ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ :كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ:إِنَّهُ وَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إلَى زَيْدبْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُولُ : كَيْفَ نَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ: إِنَّهُ وَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا.رواه البخارى
“ Sayyidina Umar r.a mendatangi khalifah Abu Bakar r.a dan berkata:” Wahai Khalifah Rasulullah Saw,saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan beberapa penghafal al –Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an menjadi satu Mushhaf ? “ Khalifah menjawab:” Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ? “ Umar r.a berkata:” Demi Allah, ini baik” Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar . Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit r.a, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid.Ia menjawab:” Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ? “ Keduanya berkata:” Demi Allah, ini baik” Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar dalam rencana ini” ( H.R.al- Bukhari )
Umar mengusulkan penghimpunan al- Qur’an dalam satu Mushhaf, Abu Bakar meragukan, bahwa hal ini belum pernah dilakukan oleh  Rasulullah Saw. Tetapi Umar menyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-qur’an menjadi satu mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar al –Qur’an tetap terpelihara. Oleh karena itu menghimpun al-Qur’an ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah.
2        Shalat Tarawih
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ الْقَارِ ئ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ  رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمََضَانَ اِلَى الْمَسْجِدِ فَإِ ذَا النَّاسُ اَوْزَعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَ يُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ  الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّى أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هٰؤُ لاَءِ  عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ أُبَيِّ بْنِ كَعَبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً  أُ خْرَى وَ النَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِى نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ منَ الَّتِى يَقُوْمُوْنَ يُرِبْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَفُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ   . رواه البخارى
“ Dari Abdurrahman bin Abdul Qari, beliau berkata:” Saya keluar bersama – sama Sayyidina Umar bin Khathab ( Khalifah Rasyidah) pada suatu malam bulan Ramadhan ke masjid Madinah. Di dapati dalam masjid itu orang – orang sembahyang tarawih bercerai – berai. Ada yang sembahyang sendiri – sendiri, dan ada yang sembahyang dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Sayyidina Umar berkata:” Saya berpendapat akan mempersatukan orang – orang ini. Kalau disatukan dengan seorang Imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat Rasulullah “. Maka beliau satukan orang – orang itu sembahyang di belakang seorang Imam, namanya Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid, lalu kami melihat orang sembahyang berkaum – kaum di belakang  seorang Imam. Sayyidina Umar berkata:” Ini adalah bid’ah yang baik.Tetapi menunaikan shalat di akhir malam adalah lebih baik daripada awal malam. Pada waktu itu, orang – orang menunaikan tarawih di awal malam”  ( H.R.al-Bukhari )   
Rasulullah Saw tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukanya beberapa malam, kemudian meninggalkanya. Beliau tidak pernah pula menunaikannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukanya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar r.a mengumpulkan mereka untuk shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukanya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan” Sebaik – baik bid’ah adalah ini” .Pada hakikatnya, apa yang beliau lakukan termasuk sunnah, karena  Rasulullah saw telah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (( فَعَلَيْكُمْ بِسُنتى وَسُنَّةِ 0الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِييْنَ ))
Rasulullah Saw bersabda:’ Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”
3        Adzan Jum’at
وَعَنِ السّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ اضوَّلَهُ إِذَا جَلَسَ اْلأِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَغُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا َكانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ وَكَثُرَ الناسُ زَادَ  النِّدَاءَ الثّالِثَ عَلَىَ الزَّوْرَاء وَهِيَ دَارٌ فِى سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ.رواه البخارى
“ Al - Saib bin Yazid r.a berkata:” Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk diatas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga  diatas Zaura’,yaitu  nama tempat di Pasar Madinah( H.R.al –Bukhari )
            Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar  adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam duduk diatas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui  dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura; tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir di mimbar. Semua shahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuiti berdasarkan hadits sebelumnya.
4        Shalat Sunnah Sebelum Shalat Id dan Sesudahnya
عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعِ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِيِّ بْنِ أَبِى طَالِبِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فِى يَوْمِ عِيْدٍ  فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَاتَقُوْلُ فى الصَّلاَة يَوْمِ الْعِيْدِ  قَبْلَ الصَّلاَة وَ بَعْدَهَا ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ فَسَأَلُوْهُ كَمَا سَأَلُوْهُ –الَّذِيْنَ كَانُوْا قَبْلَهُمْ- فَلَمَّا انْتَهَيْناَ إِلَى الصَّلاَة وَصَلَّى بالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ ؟ قَالَ: فَمَا عَسَيْتُ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُوْنِى عَنِ السُّنَّةِ ؟ إنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِِِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَ مَنْ شَاءَ تَرَكَ أَتَرَوْنِى أَمْنَعُ قَوْمًا يُصَلُّوْنَ فَأَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ  مَنْ مَنَعَ عَبْدًا إِذَا صَلَّى.رواه البزر, كماذكره الحافظ الهيثمى فى مجمع الزوائد ( 2 / 437 9
“ Al-Walid bin Sari’ berkata: “ Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thlib r.a. lalu beberapa orang dari shahabat beliau menanyakanya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lau datang beberapa orang menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, menaiki kendaraanya. Kemudian mereka bertanya: “ Hai Amirul Mukminin, mereka  melakukan shalat sunat  sesudah shalat Id “ Beliau menjawab:” Apa yang akan kulakukan ? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi Saw belum pernah melalukan shalat sebelum shalat Id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang yang melakukan, lakukanlah, dan siapa yang mau meninggalkan,tinggalkanlah.aku tidak mau menghalangi orang yang mau shalat, agar tidak termasuk “ orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat”. ( H.R.al _Bazar dalam Musnad) ( Lihat: al-Hafizh al-Haitasami,Majmu’ al-zawaid ( 2/ 438 )
Rasulullah saw tidak pernah melakukan shalat sunnah  sebelum shalat’ Id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukanya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa saja  boleh melakukanya. Di sini, sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu dari Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw belum tentu salah dan tercela.
5.      Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa do’a talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah saw ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ,اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, َلبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ,اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
 “ Ya Allah, saya penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya puji dan ni’mat bagi-Mu, dan Engkaulah yang menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Mu”
             Tetapi  Abdullah bin Umar r.a sendiri menambah do’a talbiyyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بيَدِكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
            Hadits tentang do’a talbiyyah Nabi saw dan tambahan Ibn Umar  ini diriwayatkan oleh al-Bukhari ( 2 / 170 ), Muslim ( 1184 ), Abu Dawud ( 1812 ) dan lain – lain. Menurut Ibn Umar,Sayyidina Umar r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim ( 1184 ) , bahkan dalam riwayat  Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf,Sayyidina Umar menambah bacaan talbiyah Nabi Saw dengan kalimat;
لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَالنِّعْمَاءِ وَالْفضْلِ الْحَسَنِ
               Dalam riwayat Abu Dawud ( 1813 ) dengan sanad yang shahih, Ahmad ( 3 / 320 ) dan Ibnu Khuzaimah ( 2626 ) sebagian shahabat menambah bacaan talbiyah-nya dengan kalimat;
ذَالْمَعَارِجِ
             Al – Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al- ‘ Aliyahَ meriwayatkan bahwa, Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyah- nya menambah kalimat:

َلبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّا
             Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits – hadits talbiyah yang beragam dari para shahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahud, talbiyah dan lain – lainya terhadap dzikir yang ma’tsur ( datang dari Nabi saw). Karena Nabi Saw sendiri telah mendengar tambahan para shahabat dalam talbiyah, dan membiarkanya. Sebagaimana tokoh – tokoh shahabat melakukan tambahan pula, seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali,Anas dan lain – lain ra.Kebolehan menambah dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ ulama.
6.      Resaksi Shalawat Nabi
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, dan salah satu ulama otoritatif di kalangan kaum Wahhabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi Saw yang disusun oleh para shahabat dan ulama Salaf, dalam kitabnya Jala’ al Afham fi al- Shalat wa al- Salam ‘ala Khair al- Anam Saw. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ اِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ , الَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلاَوَّلُوْنَ وَاْلاَخِرُوْنَ.رواه ابن ماجه.
” Ya Alloh jadikanlah segala shalawat, rahmat, dan berkah-Mu kepada Sayyid para rasul, pemimpin orang – orang yang bertaqwa, pamungkas para Nabi, yaitu Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Alloh anugerahkanlah beliau maqam terpuji yang menjadi harapan orang – orang terdahulu dan orang – orang yang kemudian” ( H.R.Ibnu Majah )
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat  sayyidina Abbdullah bin Abbbas r.a berikut ini;
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤَلَهُ  فِى اْلاَخِرَةِ  وَاْلاُوْلَى كَمَا اَتَيْتَ اِبْرَاهَيْمَ وَمُوْسَى ( الشيخ ابن القيم, جلاء الافهام (ص/ 76 )
“ Ibn Abas r.a apabila membaca shalawat kepada Nabi SAW beliau berkata,” Ya Alloh kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur, dan berilah permohonanya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa”
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat   yang disusun oleh al-Imam ‘Alqamah r.a, seorang tabi’in sebagai berikut:
صَلّى اللّٰهُ وَمَلاَئِكَتُه عَلَى مُحَمَّدٍ  السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيّ وَرَحْمَةُ اللّٰه وَبَرَكَاتُهُ( الشيخ ابن القيم, جلاء الافهام (ص/ 75 )
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga meriwayatkan redaksi shalawat   yang disusun oleh al-Imam ٍٍSyafi’i r.a, seorang tabi’in sebagai berikut:
صَلّى اللّٰهُ  عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَاذَكَرَهُ الذَاكِروْنَ وَعَدَدَ مَاغَفَلَ عَنْ ذكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ ( الشيخ ابن القيم, جلاء الافهام (ص/ 230 )
              Demikianlah beberapa redaksi shalawat Nabi Saw yang disusun oleh para shahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’al Afham. Hal tersebut yang menjadi inspirasi bagi para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga lahirlah shalawat Nariyah, Thibbil Qulub, al Fatih,al-Munjiyat dan lain – lain.
C.Bid’ah Hasanah Setelah Generasi Shahabat
1.   Tahlilan
Di kalangan penganut faham ahlussunnah waljamaah terdapat satu kegiatan yang sangat menonjol, yaitu tahlilan.  Dalam acara apa saja, baik selamatan, sedekahan, khitanan,ada kegiatan tahlilan. Orang – orang yang bukan penganut ajaran ahlussunnah sampai bosan melihat dan mendengarnya, lagi – lagi ada tahlilan. Mereka sampai timbul perasaan bosan mendengarnya. Apakah amalan seperti ini ada dasarnya baik dari al-Qur’an ataupun as-sunnah ? Ternyata bila ditelusuri secara mendalam,ternyata memang ada dasarnya.
Salah satunya adalah sabda Rasulullah Saw;
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَال : أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لاَإِلٰهَ إِ لاَ اللّٰهُ .رواه أحمد
Dari Abi Hurairah r.a berkata,Rasulullah Saw bersabda:” Perbaruilah iman kalian’.Para shahabat bertanya,” bagaimana kami memperbarui iman kami ? “  Beliau menjawab,” perbanyaklah mengucapkan           لاَإِلٰهَ إِ لاَ اللّٰهُ       ( H.R.Ahmad )

2.      Dzikir Berjamaah
            
   Selain  itu,  masih ada lagi kegiatan lain yang cukup menonjol, yaitu kegiatan dzikir berjamaah, baik dilaksanakan sesudah shalat berjamaah ataupun kegiatan keagamaan lainya. Dasar pokok dari amalan ini adalah sabda Rasulullah saw:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَأَبِى سَعِيْدٍ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّ حْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَاللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ .رواه مسلم
“ Abu Hurairah  dan Abi Sa’id r.a  berkata,” Rasulullah SAW bersabda,” Tidaklah ada balasan bagi suatu kaum berkumpul berdzikir kepada Alloh melainkan dikepung oleh malaikat, dilingkupi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan dan diingat Alloh pada orang – orang yang ada disisnya “ ( H.R. Muslim )
3    Membaca Istighfar
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[1], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui” ( Q. S.  Ali Imran (3):135 )
 “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, Kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang( Q. S.  An Nisa’ (4):110 )
مَنْ اَكْثَرَ مِنَ اْلاِسْتِغْفَارِ جَعَلَ اللّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضَيِّقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ غَيْرُ لاَ يْحْتَسِبْ
Barangsiapa yang memperbanyak istighfar, maka Allah akan menjadikan baginya dari setiap kesusahan menjadi kegembiraan, dari setiap kesempitan menjadi kelapangan dan diberi rizqi tanpa disangka-sangka” ( H.R. Ahmad dan Hakim ).
4        Barzanji,Dibaan,Burdahan dan Manaqiban
Terdapat pula kegiatan lainya di tengah – tengah masyarakat yang dilaksanakan setiap selasai shalat maghrib, atau shalat isya, atau kapan saja, yaitu pembacaan barzanji, Dibaan,Burdahan, Manaqiban. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum muslimin di seluruh Indonesia, dan beberapada negera lain berdasarkan hadits Rasulullah saw yang tertera dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:
وَقَدْ وَرَدَ فِى اْلأَثَرِ عَنْ سَيِّدِ الْبَشَرِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِنًا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ وَمَنْ قَرَأَ تَارِيْخَه ُ فَكَأَنَّمَا زَارَهُ وَمَنْ زَارَهُ فَقَدش إسْتَوْجَبَ رِضْوَانَ الله فِى حُرُوْرِ الْجَنَّةِ وض حَقَّ عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يُكَرِّمَ زَائِرَهُ
Terdapat sebuah atsar dari gustinya manusia saw, bahwasanya beliau bersabda,” Barangsiapa yang membuat ( menulis ) biaografinya seorang mukmin, maka sepertinya ia menghidupkanya kembali. Dan barangsiapa membaca sejarahnya. Maka seolah – olah ia mengunjunginya, dan  barangsiapa mengunjunginya, maka ia berhak mendapatkan ridha Allah dalam surga. Dan sudah seharusnya bagi seseorang memuliakan orang yang menziarahinya”
5        Peringatan Maulid Nabi
               Kegiatan tahunan yang tidak pernah absent di tengah – tengah masyarakat adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Pelaksanaan kegiatan ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لَمَّا قَدِمَ النّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ عَاشُوْرَاءَ فَسُئِلُوْا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوْا هَذَا الْيَوْمُ الَذى أَظْفَرَ اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَبَنِى إِسْرَائِيْلَ عَلَى فرءعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ ثُمّ أَمَرَ  بِصَوْمهِ.رواه الشيخان
“ Ketika Nabi Saw tiba di Madinah, beliau mendapati orang – orang Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura’. Mereka ditanya tentang hal itu, lalu mereka menjawab,” di hari ini,Allah telah memberikan kemenangan kepada Musa dan Baani Israil atas Fir’aun. Dan kami berpuasa untuk mengagungkanya” Lalu Rasulullah saw bersabda,” Kami lebih berhak dengan Musa dibandingkan kalian”. Lalu belia memerintahkan  berpuasa pada hari itu” ( H.R.Bukhari – Muslim )
6        Istighatsah
(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut"( Q.S.al Anfal : 9 )
            Sedangkan dalam hadits – hadits Rasululloh SAW disebutkan:
عَنْ  ا بْنِ عَبَّاسٍ  رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ لِلّهِ مَلاَئِكَةً فِى اْلاَرْضِ  سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا بَسْفُطُ مِنْ وَرَقِ الْشَّجَرَةِ  فَاِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرَجَةً بِاَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللّٰهُ .رواه البزار
  Ibnu Abbas r.a , bahwasnnya Rasululloh Saw bersabda:” Sesungguhnya Alloh memiliki para malaikat di bumi selain malaikat hafazhah yang menulis daun – daun yang bergururan, maka jika kalian ditimpa kesulitab di suatu padang maka hendaklah mengatakan: “ Tolonglah aku wahai para hamba Alloh”
         Hadits ini diriwayatkan oleh al- Bazar ( Kasyf al- tsar, 4 / 33 – 34 ) , Al- Hafizh al- Haitsami dalam Majma’ al Zawaid ( 10 / 132 )  berkata: Para perawi hadits ini dapat percaya.
         Hadits ini menunjukkan dibolehkanya meminta tolong dan beristighatsah dengan selain Alloh , yaitu orang – orang shaleh meskipun tidak dihadapan mereka dengan redaksi nida’ ( memanggil ).
عَنْ  أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ:جَاءَ رَجُلٌ اَعْرَابِيٌّ اِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَتَيْنَاكَ وَمَا لَنَا بَعِيْرٌ يَئِطُ وَصَبِيٌّ يَغِطُّ ثُمَّ أَنْشَدَ شِعْرًا يَقُولُ فِيْهِ: وَلَيْسَ لَنَا اِلاَّ اِلَيْكَ فِرَارُنَا * وَأَيْنَ فِرَارُ النَّاسِ اِلاَّ اِلَى الرُّسُلِ.فَقَامَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ:اَللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا.روَاهُ البيهقى
“ Anas bin Malik r.a berkata,” Telah datang seorang laki – laki kepada Nabi SAW, lalu ia berkata: “ Wahai Rasululloh, kami datang kepdamu karena tidak ada lagi orang yang meringis, tiada lagi bayi yang mendekur, kemudian ia membacakan sebuah syair ( yang dulu digubah oleh Abu Thalib,ayah Sayyidina Ali bin Abi Thalib) ” Kecuali kepadamu tak kemana kami akan pergi, kemnakah manusia minta bantuan kalau tidak kepada Rasul Ilahi ? ” Mendengar permintaan itu Nabi lantas berdiri menrik selendang beliau dan lantas naik mimbar, lalu berdo’a,” Ya Alloh, turunkanlah hujan” ( H.R.Baihaqi )
Hadits ini mengandung pengertian bahwa Rasululloh SAW dengan jelas mengizinkan kepada lelaki Baduwi itu untuk berdo’a dengan istighatsah kepada diri Nabi. Dalam  hadits ini Nabi sama sekali tidak melarang beristighatsah  kepada lelaki Baduwi itu. Seandainya istighatsah dilarang tentu Nabi akan mengtakan, “ Mengapa kamu merengek – rengek dan melapor kepadaku, dan tidak langsung berdo’a kepada Alloh”, dan tidak pula berkata,” Kamu telah syirik karena telah melaporkan permintaanmu kepadaku, bukan kepada Alloh” Bahkan pada kenyataanya do’a Rasululloh SAW pun dikabulkan dengan berhasil turunya hujan sebagaimana yang diminta umatnya.
Sebenarnya masih banyak amaliah ahlussunnah wal jamaah yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh warga masyarakat muslim, khususnya di Indonesia dan Negara – Negara lain yang sefaham. Namun, mengingat keterbatasan halaman dalam buku ini, kiranya dicukupkan sampai disini saja. Untuk lebih jelasnya, silakan baca buku yang membahas tentang dasar – dasar amaliah ahlussunnah waljamaah.




1 comment:

  1. Do you realize there is a 12 word sentence you can communicate to your crush... that will induce intense feelings of love and instinctual attraction to you deep within his chest?

    That's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, adore and guard you with his entire heart...

    12 Words Who Trigger A Man's Love Impulse

    This impulse is so hardwired into a man's mind that it will drive him to try harder than ever before to to be the best lover he can be.

    As a matter of fact, triggering this powerful impulse is absolutely important to achieving the best ever relationship with your man that once you send your man a "Secret Signal"...

    ...You will immediately find him expose his heart and soul for you in such a way he haven't expressed before and he'll distinguish you as the only woman in the universe who has ever truly understood him.

    ReplyDelete